Opini Rakyatpos, 14 Oktober 2020

Oleh: Hafiza Gafikru
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Omnibus Law adalah sebuah konsep yang menggabungkan secara resmi (amandemen) beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk undang-undang baru. Ini dilakukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan memangkas masalah dalam birokrasi, yang dinilai menghambat pelaksanaan dari kebijakan yang diperlukan. Konsep omnibus law atau juga dikenal dengan omnibus bill sendiri umumnya digunakan di negara yang menganut sistem common law, seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi.
Jadi dapat ditarik disimpulkan Omnibus Law Cipta Kerja adalah UU baru yang menggabungkan regulasi dan memangkas beberapa pasal dari undang-undang sebelumnya termasuk pasal tentang ketenagakerjaan menjadi peraturan perundang-undangan yang lebih sederhana. Dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, maka UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak berlaku lagi.
Sejak disahkannya Rancangan Undang–Undang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam sidang paripurna yang dilaksanakan pada hari Senin (5/10/2020), memicu gelombang demokrasi hingga 2 hari kemudian. Serikat pekerja, mahasiswa, dan aktivis dari berbagai elemen masyarakat sipil turut melakukan demonstrasi di berbagai wilayah kota. Terdapat 9 fraksi yang ada, dua fraksi memilih tidak setuju yaitu PKS dan Demokrat. Sementara 7 fraksi yakni PDIP, Golkar, PKB, NasDem, Gerindra, PPP, dan PAN mendukung keinginan pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta kerja.
Pro kontra terkait pengesahan RUU ini masih terus tumbuh. Beragam penolakan, mulai dari media sosial hingga aksi demonstrasi di sebagian wilayah dilakukan. Sejumlah pihak menyoroti beberapa poin – poin yang bertentangan, serta sikap pemerintah yang dinilai tidak transparan dan tergesa–gesa dalam mengesahkan undang–undang tersebut. Padahal, saat ini Indonesia sedang dilanda pandemi yang membutuhkan penuh kebijakan dari pemerintah. Dalam hal ini masyarakat menilai DPR dan pemerintah memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk mempercepat pengesahaan RUU Omnibus Law Ciptaker.
Banyak pasal yang dipersoalkan oleh serikat buruh akan adanya RUU ini yang dinilai mengancam hak asasi manusia (HAM). Salah satunya pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dikurangi menjadi 25 kali upah dari sebelumnya 32 kali upah. RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perjanjian waktu kerja tertentu akan otomatis berubah menjadi perjanjian waktu kerja tidak tertentu apabila tidak dibuat dalam perjanjian tertulis. Beberapa ketentuan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja juga dianggap kontroversial di antaranya, waktu jam kerja, upah minimum, rencana penggunaan tenaga kerja asing, pekerja kontrak, mekanisme PHK, hingga jaminan sosial.
Menurut penulis, seharusnya pembahasan RUU yang berpotensi mengkriminalkan rakyat, merampas hak rakyat ditunda dahulu, karena yang paling utama adalah DPR harus mengawasi kinerja pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, tetapi justru mereka lebih memilih membahas RUU “Cilaka” ini. Apalagi pengesahan RUU ini menyebabkan timbulnya aksi demonstrasi yang memicu bertambahnya kasus virus corona, tetapi para demonstran memandang ancaman yang akan dimunculkan UU Omnibus Law jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak terinfeksi virus corona.
Pasca aksi demonstrasi, Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 9 Oktober 2020, akhirnya tampil ke publik memberikan klarifikasi dan penjelasan terkait Omnibus Law Undang- Undang Cipta kerja melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden dan akun resmi instagram @jokowi. Jokowi mengatakan, UU Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak banyaknya. Selain itu, UU Cipta Kerja mengatur banyak hal yang secara umum untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.
UU ini juga menyederhanakan sistem perizinan, memangkas regulasi yang tumpang tindih serta prosedur yang rumit, dan sebagainya. Namun, Presiden menilai terjadinya aksi demonstrasi disebabkan oleh banyak disinformasi serta hoaks mengenai substansi dari UU ini yang menyebar melalui media sosial. Dalam pernyataan tersebut Jokowi mengusulkan apabila ada pihak yang merasa tidak puas dan menolak terhadap UU ini untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Di Indonesia dalam memperbaiki aturan dapat ditempuh melalui tiga mekanisme, pertama judicial review yaitu pengujian Undang-Undang yang dilakukan oleh lembaga yudikatif yaitu Mahkmah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagaimana diejalaskan dalam Pasal 24 C dan 24 A UUD 1945, dapat dibatalkan apabila ada undang-undang yang bertentangan Undang-Undang diatas.
Sedangkan yang kedua yaitu legislative review dan yang ketiga executive review. Legislative review dan executive review adalah upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah suatu undang-undang melalui lembaga legislatif atau lembaga eksekutif berdasarkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut sebagaimana yang diatur dalam konstitusi pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dan UU No 12 Tahun 2011.
Mengenai UU yang disahkan tergesa – gesa, tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat dapat dikatakan cacat hukum yang dibagi menjadi cacat hukum materiil dan cacat formil. Cacat hukum materil berkaitan dengan substansi Undang -Undang, sedangkan cacat hukum formil berkaitan dengan prosedur pembuatan Undang – undang.
Maka dalam hal ini masyarakat dapat melakukan dua pilihan objektif. Pertama mendesak Presiden mengeluarkan Peraturan Pengganti undang–undang (Perppu), kedua masyarakat dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas dugaan cacat hukum formil dan materil.
Sumber: http://www.rakyatpos.com/efektivitas-regulasi-omnibus-law-pada-sistem-hukum-indonesia/3