Opini Belitong Ekspress, Jumat 16 Oktober 2020

Oleh: Nadine Febiola
(Mahasiswa FH UBB
Fenimisme merupakan suatu gerakan yang memperjuangkan perubahan kedudukan perempuan dalam sistem sosial di masyarakat. Fenimisme bukan hanya memperjuangkan emansipasi perempuan di hadapan laki-laki saja, namun juga memperjuangkan dari dominasi, eksploitasi, serta represi dari sistem yang tidak adil. Di Indonesia kata βfeminismeβ tidakla asing lagi dikarenakan sudah terdengar sejak tahun 60-an, namun menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar tahun 1970-an.
Gerakan feminisme di Indonesia adalah gerakan transformasi perempuan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil. Gerakan feminisme bukanlah gerakan yang untuk menyerang laki-laki tetapi merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dari sistem patriarki. Perempuan dianggap warga kelas dua. Seperti yang dituliskan oleh Simone De Beauvoir, The Second Sex, dimana perempuan yang termarginalkan oleh kontruksi sosial menjadikan mereka hanya bergerak di ranah privat dan bahkan sosio-kultural Indonesia saat ini menunjukkan ketidakadilannya dengan hanya memberikan kuota 30% perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, hal itu diatur dalam UU Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Mengingat apa yang diperjuangkan oleh feminis bahwa perempuan juga berhak bergerak dalam bidang sosial, politik dan ekonomi.
Kehidupan perempuan yang hanya berada di rumah dan keluarga, menjadikannya makhluk yang pasif dan tidak bergerak di ranah public, hal tersebut bukan karena perempuan tidak mampu tetapi lebih karena tidak adanya alternatif lain. Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan dari ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki. Dalam kaitannya dengan hukum studi feminis lahir untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas, dan studi hukum seharusnya bukan hanya menerapkan asas kepastian tetapi amat terlebih asas keadilan.
Ketidaksetaraan hak perempuan (female inequality) adalah dimana perempuan ditindas hak dan martabatnya serta dipandang lebih rendah dari rekan sejawatnya.Hal ini terjadi akibat dari stereotip dan stigmatisasi terhadapat perempuan yang ada dimasyarakat. Contoh stereotip dan stigma sebagai berikut:
- Wanita mengurus urusan rumah sedangkan pria mencari uang.
-Wanita cenderung emosional sedangkan pria lebih logis dalam berfikir.
Mengapa hal ini bisa terjadi?karena ada kontruksi sosial dan miskonsepsi yang cenderung lebih menguntungkan satu gender dibandingkan gender lainnya. Isu ini memiliki keterkaitan besar dengan UU Cipta Kerja,yang mendeskriminasikan hak kerja perempuan,pedapatan lebih rendah dibandingkan pekerja pria serta ketidakadilan dalam komunitas pekerjaan. Ketidakadilan kesempatan kerja hanya 19% wanita menduduki posisi manajerial pada perusahaan (CSRI,2019). Pendapatan rata-rata wanita jatuh pada Rp.2,3 juta/bulan dimana pendapatan rata-rata pria yaitu Rp. 3,5 juta/bulan (BPS,2019)
Lalu apakah UU ciptaker mempengaruhi tenaga kerja wanita? UU ciptaker diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru,meningkatkan kompensasi dan manaikan produktivitas untuk mencapai iklim ekonomi yang lebih memadai. Apabila diimplementasikan dengan benar akan terdapat banyak pekerja wanita yang bisa mendapatkan pekerjaan serta memperluas kesempatan ekonomi bagi wanita. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan sudah diatur perlidungan pekerja perempuan ketika mengalami kondisi tersebut. Namun, masih banyak pekerja perempuan yang tidak mendapatkan haknya.
Terdapat juga beberapa penghapusan pasal yang dimana pasal tersebut mengatur hak perempuan yaitu pada pasal UU No.13/2003 memiliki ayat-ayat secara spesifik mengatur perlindungan hak buruh wanita terdapat pada pasal 76, 81, 21, 83, dan 93. Sayangnya UU ciptaker tidak mengandung ayat-ayat ini yang berpotensi membuat para buruh wanita lebih rentan di industri pekerjaan.
Untuk terus mempromosikan kesetaraan upah, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan UN Women, dua badan PBB yang memimpin pendirian Koalisi Internasional untuk Kesetaraan Upah (Equal Pay International Coalition/EPIC), bersama dengan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD). kondisi kerja tidak fleksibel yang membatasi kesempatan para wanita, maka kita tidak akan dapat menutup kesenjangan upah berdasarkan gender ini.UN Women terus menjalin kerja sama erat dengan Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya dalam meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan.Pengesahan UU ciptaker meningkatkan resiko terjadinya perlakuan tidak adil terhadap pekerja wanita,hal tersebut tidak hanya mempengaruhi pekerjaan perempuan saja namu juga kualitas hidup keluarganya& masyarakat luas
Menurut penulis banyak dampak positif dengan adanya teori feminisme tersebut :
Β· Menaikkan derajat kaum perempuan
Β· Kaum perempuan berhak berperan dalam pembangunan nasional suatu negara
Β· Kaum perempuan berhak meningkatkan kedudukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Saya percaya,keberhasilan seorang suami tak lepas dari campur tangan dan peran istri. Usaha seorang istri untuk menciptakan kondisi rumah yang nyaman, hangat dan penuh kasih merupakan bagian dari dukungan istri kepada suaminya. Masih banyak peran istri dan ibu yang (mungkin) tak terlihat oleh mata, tetapi dapat dirasakan buahnya oleh (minimal) anggota keluarganya. Dan itu semua tak dapat digantikan oleh apapun juga. Maju terus wanita Indonesia! Mari kerjakan panggilan kita dengan sepenuh hati dan semangat yang tinggi. Karena keberhasilan serta masa depan bangsa ini ada dalam tangan kita yang tak berhenti mencintai, merawat, mendidik, menasehati dan memberi contoh baik.