(Opini Pos Belitung, 19 Oktober 2020)

Oleh : Yudha Kurniawan / Mahasiswa FH UBB
Awal Bulan Oktober tahun 2020 menjadi titik awal mahasiswa “tersentil jiwa kritisnya” dengan disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi sebuah undang-undang. Secara prinsip, tupoksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif membuat suatu peraturan perundang-undangan, namun dalam hal ini semakin jelas bahwa para anggota DPR ini kehilangan “sense of humanity” yang secara nyata masa pandemic yang seharusnya focus pada penanganan corona namun malah ngotot untuk mengesahkan UU Cipta Kerja yang termasuk bagian daripada Omnibus Law.
Baik secara formiil dan materiil senyatanya dipaksakan untuk diundangkan padahal masih banyak pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang mengalami ambiguitas dalam sisi maksud dan tujuan. Sebagai contoh dalam pola peraturan perundang-undangan, secara prinsip dalam sebuah aturan harus mendasarkan pada persamaan maksud, tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam RUU Cipta Kerja tersebut. Namun dalam RUU Cipta Kerja yang disebarkan melalui media massa, terdapat beberapa kajian justru malah semakin ruwetnya dan terbukanya “gesekan” antar aturan atau saling bertumbuknya aturan satu dengan yang lainnya sehingga justru menimbulkan disharmonisasi aturan satu dengan yang lainnya berujung pada ketidakpastian hukum terkait hal tersebut. Hal ini yang harus diperhatikan oleh para wakil rakyat yang ada di parlemen.
Tidak mengherankan setelah disetujui bersama pemerintah dan DPRD UU Cipta Kerja yang diwarnai dengan berbagai kejanggalan ini kemudian menuai berbagai tanggapan masyakarat di Indonesia termasuk di dalamnya adalah dari kalangan mahasiswa, yang merasakan bahwa proses pembuatan UU Cipta Kerja ini tidak ditempuh dengan cara yang baik-baik saja, dengan segala kejanggalan yang nampak jelas tersebut maka mahasiswa sebagai representasi intelektual dari masyarakat pun menghimpun berbagai kekuatan massa di berbagai daerah, guna untuk melakukan aksi penolakan terhadap sah nya UU Cipta Kerja, melalui aksi massa yang membludak di berbagai daerah di Indonesia maka ricuh antara petugas aparat polisi dan mahasiswa beserta kelompok masyarakat lain pun tidak bisa dihindari.
Berbagai aksi demonstrasi tersebut ada yang nampak hasilnya dengan tersebarnya foto-foto surat yang di keluarkan oleh pemerintahan daerah baik oleh pemerintah daerah maupun DPRD yang berisi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja dan mengusulkan pemerintah pusat dalam hal ini presiden Joko Widodo untuk meredam aksi massa yang panas di tengah pandemi ini dengan cara mengeluarkan Perppu untuk mencabut RUU Cipta Kerja yang dinilai cacat formiil dan melalui isu krusial cenderung multitafsir yang berpotensi merugikan para buruh pada saat pengaplikasiannya.
Tak lupa pula upaya lain dari mahasiswa sebagai agent of change yaitu melakukan cara yang tersedia di dalam ketentuan konstitusional yakni melalui Judicial Review atau pengujian kembali atas UU Cipta Kerja dengan ketentuan UUD 1945 untuk mencari benang merah kesalahan di dalam UU Cipta Kerja ini yang dalam harapanya Makhamah Konstitusi (MK) bisa mengabulkan permohonan tersebut dengan mencabut hal-hal krusial dari pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja ataupun mencabutnya, karena dengan jelas orang awam pun paham bahwa secara pembentukan UU Cipta Kerja ini jelas cacat formiil nya.
Reaksi lainya yang dilakukan oleh mahasiswa adalah turut mencerdaskan publik dengan melakukan kajian pada isu yang berkembang hangat, yang kemudian kajian itu dituangkan di dalam berbagai media yang tersedia sebagai upaya masyarakat awam yang berada di pelosok daerah bisa membaca situasinya dan ikut bergabung dalam barisan untuk membela masyarakat lainya yang ikut berdemonstrasi, minimal bergabung dalam barisan untai do’a untuk mendoakan kebaikan kepada negeri ini supaya konsisten untuk mewujudkan tujuan bangsa ini berdiri yakni sesuai dengan pembukaan UUD 1945, serta terhindar dari segala oknum rakus yang bersembunyi di tiap ketiak penguasa guna terpenuhi kepentingan pribadinya.
Pada kesimpulanya penulis berharap dengan segala upaya yang dilakukan oleh mahasiswa dalam perannya sebagai agent of change dapat merubah keadaan sekarang,sehingga tidak berlarut-larut dan menuai kekacauan yang lebih besar secara nasional karena hal itu akan berdampak pada keutuhan negara Indonesia,mengingat di depan mata kita masih ada masalah besar yang belum jelas penanganan nya yakni wabah pandemi Covid-19 yang masih mengancam setiap saat, oleh sebab itu pemerintah hendaknya fokus dan tidak membuat gaduh lagi dengan tingkah-tingkah yang tidak peka dengan kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia.