Andri Yanto

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

 

(Telah terbit di WWW.TRASBERITA.COM, tanggal 29 Agustus 2021) Ketika Aristotales menulis tentang bentuk-bentuk negara dalam bukunya “Politika”, ia memberi catatan bahwa setiap bentuk pemerintahan pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang abstrak, sedang bagaimana kemanfaatan dari sistem itu bergantung pada kontemplasi orang-orang yang menjalankanya. Setiap bentuk negara, dalam pandangan Aristotales, senantiasa disejajarkan dengan bentuk antitesisnya. Monarki adalah pemerintahan yang ideal, namun jika diperintah oleh orang yang salah maka akan berubah menjadi tirani. Hal yang sama juga bagi aristokrasi, politeia dan demokrasi yang bisa saja teracuni oleh segelintir kepentingan elit sehingga memuat ciri oligarki.

 

Berbicara tentang konsep demokrasi yang dijalankan di Indonesia, pluralnya konflik kepentingan politik memang bukan hal ringan yang mampu disimplifikasi. Namun, jika dipandang dari perspektif filsafat, menyimpang atau tidaknya suatu kebijakan politik itu secara general dapat diamati dengan pendekatan teleologi-ontologis. Kiranya, sebagaimana yang didengungkan dalam definisi populernya, demokrasi dijalankan oleh dan untuk rakyat, dan dalam konsep modern ini umumnya digunakan sistem representasi, termasuk yang dijalankan di Indonesia.

Konsep demokrasi representatif dengan sistem perwakilan yang mewakili suara rakyat memiliki berbagai probabilitas sintesis yang berbeda, baik dan buruk. Bila wakil rakyat menjalankanya dengan sepenuh hati sebagaimana tanggung jawab dasarnya, maka demokrasi akan menghasilkan bentuk pemerintahan yang ideal, begitupun sebaliknya. Kembali pada teori Aristotates, hal demikian bergantung dari komitmen dan orientasi kinerja para wakil rakyat yang menjalankan pemerintahan.

Fluktuasi pandemi COVID-19 yang hingga saat ini masih belum teratasi mencerminkan berbagai kondisi seputar politik demokrasi bangsa yang kian banyak menuai tanda tanya publik. Selain langkah-langkah penanggulangan pandemi, termasuk kebijakan pembatasan dan program-program ekonomi kesehatan, akrobat elit politik di pemerintahan juga menjadi pertunjukan yang mencolok di sepanjang perjalanan waktu. Mulai dari lomba pemasangan baliho yang membanjiri seantero negeri sebagai “bukti” kinerja untuk Indonesia, pembungkaman kritik yang dilakukan berbasis seni dan mural, hingga ketimpangan penegakan hukum para pelaku korupsi yang membuat rakyat mengernyitkan dahi. Di Bangka Belitung, salah satu problematika baru yang menarik untuk dikaji adalah kenaikan tiba-tiba anggaran tunjangan anggota dewan hingga dua kali lipat, ditengah-tengah tingginya gelombang pandemi.

Kenaikan Tunjangan Fantastis

Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, pada 18 Juni 2021 meneken Peraturan Gubernur Bangka Belitung Nomor 41 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Legalnya peraturan tersebut menjadi justifikasi berkekuatan hukum tetap atas penambahan Tunjangan Perumahan dan Transportasi bagi Anggota DPRD Babel hingga dua kali lipat.

Adapun nilai besaran tunjangan yang dimaksud, adalah terinci sebagai berikut;

Tunjangan Perumahan

  1. Ketua DPRD, sebesar Rp.32.352.941,00
  2. Wakil Ketua DPRD, sebesar Rp.27.058.824,00
  3. Anggota DPRD, sebesar Rp.23.529.412,00

Tunjangan Transportasi

  1. Ketua DPRD, sebesar Rp.30.752.941,00
  2. Wakil ketua DPRD, sebesar Rp.26.252.941,00
  3. Anggota DPRD, sebesar Rp.21.425.941,00

Dalam keterangan yang disampaikan oleh Pelaksana Tugas Ketua DPRD Babel, Amir Cahyadi, usulan mengenai peningkatan jumlah tunjangan bagi pimpinan dan anggota DPRD telah diajukan sejak April 2021. Hal ini juga dilakukan melalui proses panjang oleh Tim Penilai Independen dan dikaji sejak awal 2020, sebelum pandemi COVID-19 meluas seperti saat ini. Menurutnya, Tim Penilai Independen telah memepertimbangkan secara matang terkait kenaikan tunjangan, termasuk perihal potensi inflasi daerah dan kemampuan daerah. Selain itu, menurutnya jumlah tunjangan yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPRD Babel cenderung lebih kecil dari yang diterima oleh pejabat setara di wilayah pulau Sumatera.

Kendati demikian, realisasi peningkatan tunjangan perumahan dan transportasi yang telah ditekan juga tentu tidak dapat dianggap sebagai isu ringan yang bisa diterima begitu saja. Kenaikan fantastis hingga dua kali lipat dari jumlah semula, dan pelaksanaanya ditengah pandemi COVID-19 mengindikasikan  kebijakan ini sarat akan kepentingan politis dan kurang cermatnya para pemangku kepentingan dalam memahami kondisi sulit di lapangan.

 Kenaikan tunjangan perumahan dan transportasi yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPRD Babel hingga dua kali lipat adalah jumlah yang fantastis dan mengejutkan. Dengan akumulasi tunjangan bulanan mencapai Rp.40.000.000,- hingga Rp.60.000.000 per individu jelas memberatkan dan tidak memiliki dasar pertimbangan yang jelas. Bagaimanapun, kedudukan strategis sebagai pimpinan dan anggota DPRD tidak dapat menjadi alasan kenaikan dua kali lipat (belum lagi ditambah gaji dan tunjangan lainya) secara tiba-tiba dan jelas tanpa kesetujuan masyarakat. Padahal, anggaran yang dialokasikan bagi para wakil rakyat tersebut adalah berasal dari pajak, retribusi dan sumber-sumber ekonomi masyarakat lainya.

Hal yang juga patut dipertanyakan adalah bagaimana bisa peningkatan tunjangan mencapai angka 100% dalam sekali revisi peraturan. Padahal, dengan angka tunjangan yang ditetapkan sebelumnya, DPRD Babel dapat bekerja dengan baik (secara mekanisme), sehingga perlu dipertanyakan apa urgensi yang mendesak sehingga anggaran perlu ditingkatkan sedemikian besarnya.

Penambahan jumlah anggaran terkesan “memanjakan” para wakil rakyat dan sarat akan kompleksitas kepentingan politik. Menurut Amir Cahyadi, usul penambahan anggaran ini datang dari DPRD sendiri dan kemudian diteken oleh Gubernur. Tentu, peningkatan anggaran berarti pula peningkatan fasilitas dan standar hidup para wakil rakyat (yang sebelumnya juga sudah pasti serta berkecukupan). Padahal, berbagai PR yang menumpuk dalam problematika ekonomi Babel masih mengantri, termasuk persoalan tambang timah ilegal, reklamasi wilayah pasca-tambang, konflik sosial masyarakat dan penambang hingga PPKM darurat dan penanganan pagebluk. Apakah peningkatan tunjangan dapat memastikan anggota dewan juga akan bekerja dua kali lipat lebih baik?

Mirisnya, secara terpisah, menurut Badan Keuangan Daerah (Bakuda) Kepulauan Bangka Belitung, dalam penanganan COVID-19 terdapat kesulitan dilapangan akibat defisit anggaran. Bahkan, Amir Cahyadi sendiri mengatakan pada Juni 2021 lalu, bahwa alokasi untuk Satgas COVID-19 masih dalam pembahasan setelah lebih dari 6 bulan kekurangan anggaran. Lantas, bagaimana bisa DPRD dan gubernur dengan mulus meloloskan peraturan peningkatan tunjangan hingga 100%, padahal disaat yang sama, anggaran penagangan COVID yang jelas-jelas harus diprioritaskan masih menemui sejumlah kesulitan. Apakah kepentingan rakyat hanyalah remeh-remeh dibandingkan kepentingan 45 anggota DPRD yang terhormat itu?

Keterbukaan Informasi dan Aspirasi Masyarakat

Sikap pemangku kepentingan yang enggan memberikan komentar terkait peningkatan tunjangan DPRD adalah hal yang tidak profesional dan patut dipertanyakan. Terhitung. Beberapa pejabat pemangku kepentingan yang enggan menjelaskan perkara dengan berbagai alasan diantaranya adalah Kepala Badan Keuangan Daerah (Bakuda), Fer Afrianto, Sekretaris DPRD Babel, Muhammad Haris, Pimpinan DPRD Babel, Herman Suhadi, Sekretaris Daerah Babel, Naziarto, bahkan hingga Gubernur Erzaldi Rosman juga enggan memberikan suara. Sejatinya, perihal memberi keterangan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban sebagai aktualisasi prinsip transparansi dalam pemerintahan. Jika pejabat-pejabat pemangku kepentingan tutup suara, kepada siapa rakyat meminta pertanggung jawaban atas alokasi uang yang mereka “sumbangkan” melalui pajak pada daerah dan pemerintah?

Sejatinya, dalam filsafat kajian hukum, logika “peraturan mengatakan demikian” atau “undang-undang mengatur sedemikian rupa” adalah bentuk kesesatan berfikir (logical fallacy) yang paling lumrah dilakukan untuk menyamarkan diskrepansi moral pejabat publik. Seolah, regulasi membenarkan hak privilege sebagian pejabat bahkan jika itu menyakiti perasaan masyarakat sebagai konstituen hukumnya. Wakil rakyat adalah orang-orang bertugas menyampaikan aspirasi masyarakat luas untuk dikelola dan diteruskan dengan aktualisasi aturan yang membawa kebaikan bersama, bukan malah menjadikan alasan jabatan untuk menggali potensi keuntungan, terlebih ditengah situasi yang tidak sepantasnya.