(Opini Bangkapos, 26 Oktober 2020)

Oleh : Ndaru Satrio, S.H., M.H.
(Dosen FH Universitas Bangka Belitung,
Peneliti PUSKAPKUM)
UU Cipta Kerja sudah disahkan oleh DPR, namun sejauh ini UU Cipta Kerja tidak mendapatkan tempat yang layak di hati masyarakat. Munculnya regulasi inipun direspon dengan demo besar-besaran di sejumlah daerah. Aksi menolak regulasi ini di sejumlah daerah berujung dengan kericuhan. Titik fokus penolakan terutama terkait dengan perubahan pasal-pasal ketenagakerjaan yang terdapat di dalam regulasi ini.
Presiden Jokowi sebenarnya telah mengusulkan UU Cipta Kerja ini sekitar bulan April 2020, selama itu pula regulasi yang dikenal dengan omnibus law ini mendapatkan penolakan dari banyak pihak. Omnibus Law sendiri pertama kali mulai diperkenalkan oleh Jokowi dalam pidato pelantikan Presiden Jokowi di periode keduanya sekitar bulan Oktober 2019 tahun lalu. Walaupun merupakan produk hukum baru di Indonesia, omnibus law sudah sering dipakai negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Amerika Serikat mengenal omnibus law dengan istilah omnibus bill. Arti Omnibus law itu sendiri adalah regulasi yang dibuat lintas sektor. Ini membuat pengesahan omnibus law oleh DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Amandemen beberapa regulasi lama dalam satu paket UU membuat omnibus law seperti kanibal terhadap UU yang sebelumnya.
Berbagai gelombang penolakan yang terjadi di kalangan masyarakat juga diiringi wacana untuk segera mengajukan jusicial review ke Mahkamah Konstitusi. Secara fitrah, dibuatnya lembaga ini memang dibekali dengan fungsi untuk menjamin bahwa tidak ada produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi yang sudah disepakati. Hal ini tentunya mengarah ke perlindungan hak-hak konstitusional yang dimiliki setiap warga negara. Mekanisme yang digunakan dalam rangka melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi ini adalah jusicial review yang dimohonkan pada sebuah lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi.
Perlu kita ketahui Mahkamah konstitusi terdiri dari 9 Hakim Konstitusi yang mana 9 Hakim Konstitusi tersebut diajukan oleh 3 kekuasaan yang ada, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Kekuasaan Legislatif, dan Kekuasaan Yudikatif. Lebih detailnya ada tiga Hakim Konstitusi yang diajukan oleh Presiden, tiga Hakim Konstitusi yang diajukan oleh DPR, tiga Hakim Konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Pasal 24 C ayat (3) UUD 1945 menyebutkan: “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.” Konflik interest pun muncul ketika kita korelasikan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dengan darimana Hakim Konstitusi ini berasal. Bahasa sederhananya Hakim Konstitusi mejudicial review produk hukum yang dibuat oleh salah satu lembaga yang mengajukan sebagian Hakim Konstitusi yang ada.
Integritas yang dimiliki oleh Hakim Konstitusi benar-benar diuji dalam situasi ini. Independensi lembaga menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat. Apabila tidak dapat menjamin independensinya maka akan sangat berbahaya, karena setiap putusan Mahkamah Konstitusi turut menentukan arah kebijakan negara dalam mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan masyarakat. Muaranya kesejahteraan masyarakat menjadi taruhan dari sebuah situasi yang tidak mendukung.
Para pihak yang berkonflik dalam UU ini adalah kelompok masyarakat yang menganggap bahwa regulasi ini tidak sesuai dengan marwah konstitusi berhadapan dengan Pemerintah dalam hal ini DPR yang telah mengesahkan UU Cipta Kerja dalam sidangnya. Beberapa Hakim Konstitusi merupakan personil yang diajukan oleh salah satu pihak yang berkonflik. Hal ini pastinya akan menimbulkan dilema tersendiri dalam menentukan sebuah putusan. Di satu sisi mereka diajukan oleh kekuasaan yang menjadi salah satu pihak yang berkonflik, di sisi yang lain mereka harus menjaga amanah dari rakyat.
Problematika ini harus tetap ditanggapi dengan kepala dingin oleh berbagai pihak. Masyarakat harus senantiasa percaya tanpa mengesampingkan kewaspadaan pada setiap kebijakan yang keluarkan oleh pemangku kebijakan. Mahkamah Konstitusi sebagai benteng sebuah konstitusipun harus senantiasa memegang teguh sumpah jabatan dan amanah dari rakyat. Pemerintah dalam hal ini Presiden dan DPR pun harus senantiasa meraba, melihat dan menerawang kebijakan yang akan mereka keluarkan, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua pihak.