(Opini Babelpos, 6 Agustus 2020)

Oleh : Ndaru Satrio, S.H., M.H.

(Dosen FH Universitas Bangka Belitung,

Peneliti PUSKAPKUM, Anggota LHKP Babel)

 

Prostitusi menjadi topik yang selalu menarik untuk dikupas. Terlepas dari segala pro kontra terkait legalitas pemberi jasa kenikmatan ini, prostitusi memiliki sejarah yang cukup panjang. Ada banyak sekali maksud dan tujuan dari “aktivitas ena-ena” ini, sehingga terus berkembang dari masa ke masa. Zaman bahela, aktivitas seksual di lokasi prostitusi tak terbatas pada uang semata. Ada berbagai alasan manusia melakukan aktivitas seksual ini. Mulai dari ritual atau atau kepercayaan terhadap keyakinan tertentu hingga menjadikan ajang ini sebagai eksistensi diri.

Prostitusi di Indonesia sendiri bermula pada zaman kerajaan-kerajaan di tanah Jawa yang menggunakan sarana kaum hawa sebagai bagian dari komoditas sistem feodal. Pergulatan dunia “ena-ena” trsebut hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Prostitusi atau biasa kita sebut pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang rumit, mengingat persundalan merupakan hal yang sensitif dan hingga saat ini masih terus ada di sekitar masyarakat kita.

Faktor-faktor penyebab seseorang terjerumus dalam prostitusi memang beragam, namun  sebagian besar titik fokus permasalah terletak pada faktor ekonomi dan faktor sosial. Faktor ekonomi di pengaruhi oleh penghasilan atau kebutuhan perut seseorang, sedangkan faktor sosial dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, suasana lingkungan maupun pendidikan seseorang. Bisa dikatakan kalau prostitusi terjadi akibat kurangnya kesejahteraan lahir dan batin seseorang. Bagi perempuan yang tidak memiliki skill, untuk memenuhi kebutuhan hidup pastinya ini menjadi  jalan pintas yang menggiurkan. Tinggal bersolek dan kasih tanda dengan pakaian serba hemat pastinya laki-laki yang secara naluri lebih lemah dari sisi pandangan tidak akan menolak untuk menikmati pamandangan tersebut. Sangat mudah bagi mereka untuk menjerat laki-laki yang tidak mampu menjaga nafsunya.

Zaman yang semakin berkembang membuat sarana prostitusipun juga semakin bertambah. Salah satu sarana untuk melancarkan bisnis ena-ena ini adalah teknologi. Perkembangan teknologi memberikan dampak yang cukup mencolok bagi semua aspek kehidupan. Mudahnya kita mengakses segala informasi yang ada membuat kita terkadang tidak sadar bahwa tidak hanya informasi positif saja yang kita dapatkan, melainkan juga informasi negatif juga dapat kita terima. Pada hakekatnya sifat dari teknologi adalah netral, akan tetapi bisa dimanfaatkan untuk suatu hal yang berbeda-beda tergantung penggunannya. Akan diarahkan ke hal positif atau negatif tergantung dari penggunanya. Kemajuan teknologi ini pula yang dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berkecimpung di dunia ena-ena dengan sarana internet.

Masa pandemi covid 19 memang belum usai, semua aktivitas terbatas. Sebagian besar kegiatan diarahkan untuk menggunakan sistem yang berbasis online termasuk jual beli, tapi bukan berarti jual beli kenikmatan ini diperbolehkan dengan menggunakan sarana onlline. Pastinya apapun bentuknya, bagaimanapun caranya, apabila secara unsur sudah masuk dalam tindak pidana prostitusi harus segera ditindak tegas oleh prat yang berwenang. Caranyapun tergolong cukup mudah, dengan memasang foto manja dan catatan deskripsi diri yang mirip curriculum vitae sudah cukup dijadikan modal awal. Setelah itu tinggal tunggu laki-laki kesepian menghubungi dirinya.

Belum lama ini kita dikejutkan kembali dengan kasus prostitusi online yang menjerat salah satu artis FTV dengan inisial VS yang tertangkap di lampung. Walaupun sebelumnya kita juga sudah sering dapat kejutan terkait artis yang tersangkut tindak pidana prostitusi online, namun saya tetap terkejut mendengar kasus tersebut. Sabelumnya ada VA, AA, H, dan HH yang lebih dulu tersangkut kasus prostitusi online. Dari sekian rentetan kasus tersebut harusnya kita sadar bahwa ada sesuatu yang keliru dalam mewujudkan tujuan pemidanaan. Rata-rata artis yang tersangkut kasus tersebut ditempatkan sebagai korban dari tindak pidana prostitusi. Polisi dituntut untuk lebih jeli dan seksama menangani kasus per kasus. Jangan sampai terkecoh dengan alibi para pelakunya. Lihat dengan seksama apakan terdapat unsur tindak pidana atau tidak. Apa benar artis tersebut sebagai korban atau justru tindakannya mengarah ke unsur deelneming. Ada beberapa jenis dari deelneming antara lain: (1) mereka yang melakukan (Pleger), (2) mereka yang menyuruh melakukan (Doen Pleger), (3) mereka yang turut serta melakukan (Medepleger), (4) mereka yang menganjurkan orang lain melakukan tindak pidana (Uitlokkers), (5) pembantuan (Medeplichtige).

Saya pikir perlu adanya tindakan yang lebih tegas dari aparat penegak hukum untuk menangani tindak pidana prostitusi online. Jangan karena yang dihadapi adalah publik figur, aparat penegak hukum terkesan melemah. Ketika unsurnya memenuhi unsur deelneming, saya pikir tidak perlu ragu untuk menerapkannya. Apabila hal ini terus berlanjut maka prostitusi online ini akan terus berkembang dengan liarnya. Bahaya laten dari prostitusi online pun akan terus mengintai kita.