Opini Rakyatpos, 16 Oktober 2020
Oleh : Yudha Kurniawan
(Mahasiswa Fakultas Hukum UBB)
Pesta demokrasi baik pemilu ataupun pilkada selalu mempunyai beragam sisi menarik untuk kita bedah, tujuanya adalah untuk menambah pemahaman maupun dalam menentukan sikap pada saat menentukan pemimpin yang mencalonkan diri pada masa itu, sehingga dengan mempelajari sisi-sisi menarik tersebut tentu pada tahap berikutnya akan melahirkan pemilih-pemilih cerdas, yang memilih pemimpinya berdasakan kompetensi yang terpat,bukan hanya pemimpin yang hanya umbar-umbar janji, ketika sudah dilantik janji-jani yang diumbarnya malah dilupakan. Politik dinasti adalah salah satu isu yang lahir ketika sudah pada masa pemilu dan pilkada, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengangkat tulisan terkait dengan isu ini, dengan berangkat pada perspektif objektif yakni berlandasakan pada dasar hukum dan pendapat ahli sebagai bagian dari kajian akademik dalam melihat gejala dan fakta sosial di masyarakat saat ini, tujuannya supaya siapapun yang membaca tulisan ini nanti akan bisa bertindak dengan sikap yang tepat dalam memilih pemimpin dengan harapan melahirkan pemimpin yang berkualitas untuk kedepanya.
Berangkat dari pemaknaan secara definisi pada frasa “Politik Dinasti” , yang terdiri atas dua kata yakni politik dan dinasti. Politik memiliki beberapa definisi secara persepektifnya, namun dalam konteks ini kita sepakati bahwa politik adalah kekuasaan dalam menentukan kebijakan yang nantinya akan memilki legitimasi ketika diterapkan, sedangkan dinasti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga , sehingga dapat kita pahami bersama bahwa politik dinasti merupakan serangkaian usaha baik dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang dalam membangun dinasti politik. Dinasti politik adalah sebuah pola pemerintahan kekuasaan yang dilakukan secara turun temurun melalui suatu sanak keluarga maupun kerabat dekat.
Dalam pemaknaan secara definisi diatas maka dengan itu kita bersama sudah berada dalam satu kacamata yang sama dalam memahami konteks daripada politik dinasti yang akan terlihat jelas pada waktu berikutnya melahirkan sebuah konsep kekuasaan yang dinamakan sebagai dinasti politik. Dinasti politik membuat sekelompok keluaraga dari golongan atau kelas sosial tertentu yang akan terus memegang tampuk kekuasaan,hal ini menjadi pragmatisme terhadap konsep demokrasi itu yakni dari,oleh,dan untuk rakyat. Distribusi kekuasaan dalam ruang demokrasi menjadi tidak harmonis dan cenderung berat kearah kelompok tertentu, sehingga rakyat menjadi sulit untuk mendapatkan kesempatan hak dipilihnya.
Dilansir dari mkri.id penulis mendapatkan tambahan literasi terhadap dampak negatif pada politik dinasti ini, Menurut Zulkieflimansyah yaitu :
- Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan sehingga memunculkan calon-calon Instan yang tanpa melalui pengkaderan oleh partai tersebut.
- Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
- Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme
Yang dalam menurut hemat penulis dalam mencermati tiga dampak negatif diatas maka hal itu sudah berpotensi kuat dalam mencemari ruang demokrasi di Indonesia,baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah,yang cenderung mengarah pada praktek-praktek KKN (korupsi,kolusi,dan nepotisme) pada dinamika kekuasaan di Indonesia, disebabkan karena tidak disertai dengan kompetensi dan integritas oleh pemimpin yang bersangkutan, mengingat pada sejarahnya politik dinasti ini bukanlah hal baru di Indonesia. Contoh kasus praktik KKN yang lahir dari pusaran politik dinasti,berikut adalah data yang kami coba rangkai dari laman media Kompas.com, diantarnya adalah dinasti oleh Ratu Atut di Banten, dinasti Rita Widyasasri di Kukar, dinasti Atty Suharty dan suaminya Ittoc Tochija di Cimahi, dinasti Fuad Amin Imron di Bangkalan, dinasti Sri Hartini di Klaten,dan dinasti oleh Yan Anton Ferdian di Banyuasin.
Dalam aspek legalitas yakni kepastian dan keabsahan hukum ketatanegaraan mengenai politik dinasti sebelumnya diatur di dalam Undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang pilkada pada frasa pasal 7 poin q yang dalam penjelasan uu ini terdapat keterangan yang menggunakan kalimat berikut “tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”. Namun dalam perjalanan nya ketentuan tersebut dibatalkan oleh Makhkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK Nomor 34/ PUU-XIII/2015,dengan alasan bahwa konteks keluarga dalam ketentuan ini hanya di dasari dengan alasan-alasan yang bersifat politis dan asumtif, tidak mempertimbangkan aspek objektifnya yakni terkait dengan kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas,sehingga pada intinya praktik politik dinasti ini tidak melanggar ketentuan hukum di Indonesia.
Praktik politik dinasti tidak melanggar ketentuan hukum di Indonesia, karena dalam persepektif objektif tidak semua dari politik dinasti akan menimbulkan keburukan, hal itu tergantung dari kompetensi,integritas, dan unsur-unsur positif lain yang dimiliki oleh para calon pemimpin, namun dalam kacamata penegakan hukumnya telah banyak lahirnya praktik KKN yang berasal dari pola politik dinasti ini karena ini mau tidak mau juga terkait dengan konflik kepentingan sebagai satu sanak kelurga dan kerabat. Sedangkan dalam persepketif moral dan etis maka politik dinasti ini berlawan dengan ketentuan daripada sejarah semangat revolusi ketatanegaraan yakni mengganti sistem monarki, atokrasi, teokrasi, dan aristokrasi ke dalam bentuk demokrasi, yang dimana dalam konsep demokrasi setiap orang pada prinsipnya bebas dalam menjadi pemimpin dan memilih pemimpin, tanpa terikat pamor keluarga sebelumnya dan harta kekayaan.
Terkait dengan bedahan terhadap pembahasan politik dinasti diatas maka apabila kita coba tarik benang merah dalam konteks pilkada serentak pada 2020 ini, yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 desember 2020 nanti, tentunya dari sekian banyak daerah yang melakukan pilkada tersebut terdapat beberapa calon yang terindikasi mempunyai hubungan dengan pola politik dinasti, menurut data yang penulis dapatkan melalui situs republika.co.id, setidaknya terdapat 52 calon yang terindikasi politik dinasti, data tersebut merupakan hasil riset dari The Indonesian Institute, dengan bentuk persentase 71,5 persen bakal calon akan maju di tingkat kabupaten, 25 persen bakal calon yang terindikasi maju di tingkat kota, dan 3,85 persen bakal calon dari dinasti politik di tingkat provinsi.
Pilkada yang akan dilaksanakan pada waktu tersebut menurut kebijakan dari pemerintah akan tetap berlanjut dengan tetap berpegang pada protokol kesehatan secara ketat, mengingat tingakat curva peningkatan pandemi yang masih tinggi, sehingga oleh sebab itu dengan segala keterbatasan yang ada sekarang, penulis mengajak kita semua untuk tetap objektif dalam meimilih pemimpin tanpa melihat unsur subjektif dari masing-masing paslon, setidaknya hal tersebut bisa dilakukan dengan meriset kecil-kecilan dalam rangka mencari tahu kapasitas,kapabilitas, dan kompetensi dari masing- masing pasangan calon dengan cara melihat berbagai jejak politik masing-masing calon, menjadi teliti dalam meriset akan melahirkan kecerdasan dalam bersikap untuk memilih pasangan calon yang berkualitas dalam memimpin daerah nya.