
Oleh Ade Novit, S.H.
Alumni FH UBB
Pemilihan kepala daerah (PILKADA) sebagai salah satu praktik demokrasi Indonesia yang dijalankan di daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota merupakan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pilkada serentak pertama kali dilakukan pada tahun 2015.
Pilkada serentak tahun 2020 kembali akan dilaksanakan pada daerah yang mencakup 270 Daerah Pemilihan, meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota yang tersebar di 32 Provinsi dan melibatkan kurang lebih 105.396.460 pemilih berdasarkan jumlah Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Untuk wilayah Provinsi Kepulaun Bangka Belitung yang bakalan melaksanakan pilkada 2020 ada 4 kabupaten yaitu Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan dan Belitung Timur.
Semulanya pilkada akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020, namun dengan Pertimbangan antisipasi penyebaran Covid-19, berdasarkan Kesepakatan dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Ketua KPU RI, Ketua Bawaslu RI, dan Perwakilan DKPP RI pada 14 April 2020, maka perhelatan demokrasi ini disepakati ditunda selama 3 bulan, sehingga pemungutan suara akan dilakukakan pada 9 Desember 2020 dengan landasan hukum Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Penyelenggaraan pilkada Desember mendatang berbeda dari sebelumnya, mengingat secara khusus pilkada yang akan digelar dalam kondisi “New Normal”, dimana setiap tahapannya harus dilaksanakan dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19 secara ketat dengan alasan pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan kapan berakhirnya. Pelaksanaan pilkada di tengah kondisi situasi menuju kenormalan baru menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari aspek partisipasi pemilih hingga aspek proses penyelenggaraan dan aspek peserta pemilu.
Partisipasi Pemilih
Jumlah pemilih dalam Pilkada adalah salah satu indikator penting sebagaimana masyarakat berpatisipasi dalam pemerintah di sebuah daerah. Tingginya jumlah suara pemilih adalah tanda vitalitas demokrasi. Dalam konteks pilkada di tengah kondisi kenormalan baru (new normal) dihadapkan dengan problem yang berkaitan dengan kesehatan, dan keselamatan masyarakat yang hendak memberikan hak suaranya. Hal ini akan berpengaruh kepada partisipasi masyarakat dalam memilih.
Berdasarkan data bawaslu yang disajikan dalam kegiatan SKPP menunjukkan Persentase jumlah pemilih pada pilkada serentak, yaitu Pilkada Serentak pertama pada 9 Desember 2015 dilaksanakan pada 269 daerah terdiri dari 9 Provinsi, 36 kota, 229 kabupaten, dengan partisipan pemilih rata-rata sebanyak 70 persen. Pilkada Serentak Kedua pada 15 Februari 2017 dilaksanakan pada 101 daerah terdiri dari 7 Provinsi, 18 kota, 76 kabupaten, dengan partisipan pemilih rata-rata sebanyak 74, 20 persen. Pilkada Serentak Ketiga pada 27 Juni 2018 dilaksanakan pada 171 daerah terdiri dari 17 Provinsi, 39 kota, 115 kabupaten, dengan partisipan pemilih rata-rata sebanyak 73, 24 persen. Bagaimana persentase pemilih pada pilkada serentak tahun 2020?
Faktor-faktor yang bias mempengaruhi rendahnya partisipan masyarakat atau meningkatnya angka Golput dalam pilkada dalam kondisi new normal yaitu 1) faktor kepercayaan masyarakat kepada calon kepala daerah yang terus menurun dikarenakan aspirasi dari masyarakat kerap tidak didengarkan, 2) faktor kesehatan, masyarakat pasti cenderung memilih menghindari resiko penularan dari pada datang ke tempat yang dapat dipastikan banyak massa, 3) faktor ekonomi, dalam kondisi new normal masyarakat tentu fokus kepada pemenuhan ekonomi masing-masing setelah terdampak dari pandemi covid-19 ini dari pada penyelenggaraan pilkada. Wajar bahwa sejumlah pihak termasuk penulis berasumsi partisipasi pemilih akan menurun signifikan dan tren golput semakin tinggi karena Tidak memilih adalah sebuah hak atau sikap politik yang dijamin di negara-negara demokratis.
Tantangan dalam proses penyelenggaraan
Tantangan dalam proses penyelenggaraan pilkada serentak di tengah kondisi New Normal dihadapkan dengan keharusan tetap menjaga kualitas demokrasi dalam penyelenggaraanya, sejumlah tantangannya yaitu pertama, keamanan dan keselamatan kesehatan para petugas penyelenggaraan pilkada 2020 mulai dari Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan terutama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan dilengkapi APD dalam menjalankan tugas. Hal ini tentu menyebabkan penambahan biaya tersendiri, mengingat jumlah TPS seluruh Indonesia sebanyak 150 ribu dengan jumlah petugas per TPS itu terdapat 7 orang KPPS dan 2 Orang Linmas masing-masing tentu membutuh beberapa APD yang hendak disediakan seperti masker, disinfektan, hazmat, face shield dan vitamin. Serta tambahan biaya fasilitas pencuci tangan dan hansanitizer perlu disiapkan di seluruh Indonesia.
Kedua, potensi beberapa kerawanan dan pelanggaran pilkada yang dapat terjadi dalam kondisi new normal yaitu 1) Potensi ketidaksesuaian data apabila tidak turun langsung,2) potensi kerawanan kampanye, dengan pembatasan kampanye tatap muka sesuai protokol kesehatan dan mendorong kampanye secara online yang masih disoroti terkait problem teknis mengenai seberapa banyak seseorang dapat melakukan kampanye secara daring, mengingat tiap calon memiliki perbedaan terkait dana untuk mengelola iklan ataupun kampanye melalui media online atau daring.3)Potensi politisasi bantuan sosial akan bermunculan menyasar masyarakat yang kondisi keuangannya terdampak Covid-19 seperti warga terkena PHK hingga yang kehilangan mata pencaharian maupun penghasilan dan potensi politik uang dalam berbagai bentuk berkedok bantuan sosial namun berniat menggiring hak pilih ke salah satu pasangan calon.
Ketiga, potensi terjadi penumpukan massa pada tahapan pemungutan suara, walaupun KPU berwacana menambah jumlah TPS guna mengatur batas kapasitas orang yang berada di dalamnya untuk persiapan mencoblos dan menyiapkan bilik khusus bagi pemilih dengan keluhan kesehatan. Hal ini tertentu KPU perlu mempersiapkannya dengan matang.
Keempat, Memastikan pemenuhan hak politik dari pasien positif Covid 19 agar tetap dapat memilih, walaupun sudah ada solusi tidak harus ke TPS melainkan mendapatkan pelayanan pemungutan suara di tempat mereka dirawat, tetapi juga perlu memperhatikan keselamatan petugas agar ada upaya meminimalisir potensi penularannya.
Beberapa langkah yang harus dilakukan dan dipersiapkan dalam kondisi penyelenggaran pilkada yang harus dilaksanakan pada kondisi New Normal ini yaitu 1) Meningkatkan secara masif terkait edukasi bagi masyarakat mengenai protokol kesehatan pilkada melalui sosialisasi media seperti TV, radio, sosial media, penyelenggaraan sosialisasi online melalui webinar hingga penyebaran Leaflet 2) Memastikan pelatihan teknis penyelenggaraan pilkada pada kondisi new normal benar-benar diikuti seluruh para penyelenggara pemilu, 3) KPU harus mempersiapkan secara matang dari setiap tahapan guna menghasilkan proses demokrasi yang berkualitas.4) Bawaslu harus melakukan pengawasan ketat dan melakukan pemetaan potensi kerawanan dan pelanggaran dalam kondisi pandemic Covid-19 secara terukur dan terarah 5) Sistem pengawasan berbasis teknologi informasi perlu dipeketat mengingat berbagai tahapan dialihkan secara daring atau melalui media informasi. 6) memperkuat sinergisitas antar lembaga hingga seluruh elemen masyarakat perlu ditingkatkan guna mendukung suksesnya penyelenggaraan pilkada.
Kesimpulan penulis, Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 harus berjalan dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi dan bertintegritas sebagai suatu bagian proses politik dalam memilih pemimpin di daerah secara langsung guna mendapatkan legitimasi dari rakyat. Serta persiapan dan perencanaan harus dimatangkan dalam pelaksanaan,apabila dilaksanakan tanpa persiapan matang akan berpotensi membuat penyelenggaraa pilkada tidak optimal, bahkan diprediksi banyak terjadi potensi pelanggaran yang terselubung.