
Winanda Kusuma, S.H., M.H.
Dosen Hukum Internasional FH Universitas Bangka Belitung
Kondisi Laut Cina Selatan dalam beberapa hari ini menjadi perhatian banyak masyarakat Indonesia khususnya dalam kasus para nelayan cina yang sedang melakukan kegiatan illegal fishing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kegiatan nelayan cina tersebut berdasarkan video yang direkam oleh nelayan Provinsi Kepulauan Riau dijaga oleh kapal coast guard negara Cina. Informasi yang didapat tersebut direspon oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan memanggil Duta Besar Cina untuk menyampaikan nota protes resmi Indonesia atas kejadian tersebut, Duta Besar Cina pun berjanji akan menyampaikannya langsung ke Beijing.
Respon Beijing mengadakan konfrensi pers mengenai hal tersebut dengan mengatakan bahwa Cina berhak atas kegiatan ekploitasi oleh nelayannya di wilayah Laut Cina Selatan. Hal tersebut dengan alasan wilayah tersebut merupakan wilayah Tradition Fishing Ground (TFG) berdasarkan nine dash line atau Sembilan Garis Putus (NDL) dan bukan berkaitan dengan sengketa kedaulatan antara kedua negara. Wilayah NDL tersebut didasarkan pada klaim historis yang dalam hukum interasional tidak ada memiliki dasar hukum apapun.
Pengaturan Hukum Internasional
Perlu untuk diketahui oleh bahwa wilayah yang diklaim oleh cina merupakan wilayah ZEE yang merupakan wilayah hak berdaulat (sovereign right) Indonesia yang berbeda dengan wilayah kedaulatan (Sovereignty) Indonesia. Kedua prinsip hukum laut interasional tersebut bukan hal yang sama dan sangat jelas perbedaannya. Perbedaan tersebut bisa dilihat jelas dalam United Nation Convention on Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982), hak berdaulat hanya berlaku di wilayah ZEE menurut Pasal 57 Unclos 1982 wilayah tersebut berada 200 mil (1mil = 1,6 KM) dari titik pangkal laut teritorial suatu negara. Wilayah ZEE pun mempunyai hak yang tersbatas karena di wilayah tersebut berlaku prinsip hak berdaulat, hak tersebut menurut UNCLOS 1982 Pasal 56 terbatas pada “….Keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya…..”, kemudian mengenai wilayah kedaulatan diatur dalam Pasal 2 UNCLOS 1982 “Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu Negara kepulauan dengan perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial”.
Dari pengaturan UNCLOS 1982 dapat dilihat perbedaan wilayah ZEE yang mengatur pemanfaatan laut bagi negara sebagai hak berdaulat dan kedaulatan wilayah laut direzim laut teritorial yang merupakan wilayah suatu negara.
Konsep yang menjadi alasan cina dalam klaim Laut Cina Selatan di atas karena merupakan wilayah TFG tidak ada dalam pengaturan UNCLOS 1982. Pengaturan UNCLOS 1982 hanya mengenal konsep hak nelayan tradisional atau Traditonal Fishing Right sebagai mana diatur dalam Pasal 51. Implementasi hak tersebut tidak boleh dilakukan secara sepihak atau unilateral, UNCLOS 1982 mengaturnya atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan juga harus diatur dengan perjanjian bilateral antara negara tersebut. Jelas dari perbedaan konsep tersebut cina tidak memiliki dasar hukum dalam menentukan dan klaim TFG melalui NDL, permintaan Indonesia terhadap
NDL telah lama dikirimkan tapi belum ada jawaban atas pertanyaan tersebut.
Respon Indonesia dengan mengirimkan nota protes tersebut merupakan langkah strategis dalam penegakan hukum di wilayah ZEE, arti dari pengiriman nota protes tidak bisa dianggap lemah karena mempunyai dampak dalam hukum internsional pula. Dampak dalam hukum internasional dari pengiriman nota protes karena tindakan tersbut akan menjadi klaim unilateral tersebut tidak diakui secara diam-diam (acquisence). Pengakuan diam-diam bisa memiliki dampak yang negatif bagi Indonesia walaupun tidak pernah mendeklarasikan secara resmi, maka nota protes menegaskan posisi hukum Indonesia atas tindakan klaim unilateral cina.
Perbedaan rejim wilayah laut menurut UNCLOS 1982 antara hak berdaulat dan kedaulatan juga berimplikasi pada penanggungjawab dalam menjaga wilayah. Wilayah kedaulatan jelas bila ada entitas yang melakukan pelanggaran dan merusaknya maka menurut hukum, maka militer TNI menjadi garda terdepan dalam mempertahnkannya. Fungsi pertahanan yang dikedepankan dalam wilayah kedaulatan tidak bisa dilimpahkan kerena secara telah dididik dengan doktrin pertahanan. Wilayah ZEE yang melekat hak berdaulat tidak dapat dipersamakan bila terjadi pelanggaran hukum, karena pada fungsi yang melekat adalah penegakan hukum bukan mempertahankan kedaulatan. Hal ini bisa kita lihat dari aturan hukum internasional yang memberikan hak pada rejim wilayah ZEE negara pantai berhak atas ekploitasi ekonomi yang terkandung dalam laut. Bila negara pantai bersedia atau belum mampu mengekploitasi sumber daya laut dapat memberikan ijin kepada negara lain untuk mengeksploitasi dengan perjanjian bilateral. Hal tersebut mengakibatkan bila terjadi pelanggaran hukum maka yang berhak melakukan penegakan hukum adalah Coast Guard atau penjaga pantai.
Dalam realitasnya Indonesia memang belum memiliki institusi yang resmi sebagai penjaga pantai walaupun kita dari awal pembentukan UNCLOS 1982 telah mengklaim sebagai negara pantai. Lepas dari itu dalam permasalahan harus dapat diselesaikan dengan ketentuan hukum khususnya hukum laut internasional
Tawaran Solusi
Untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini pemerintah Indonesia dapat mengambil beberapa langkah yang telah diatur oleh hukum laut internasional antara lain: tumpang tindih rezim laut ZEE antara Indonesia dan Cina terjadi di rezim laut ZEE yang berlaku hak berdaulat bukan di wilayah laut teritorial yang jelas merupakan wilayah kedaulatan Indonesia; telah tepat direspon tindakan coast guard Cina yang memasuki rezim laut ZEE Indonesia yang diduga untuk melindungi nelayan cina dalam melakukan penangkapan ikan secara ilegal dengan mengirimkan nota protes sebagai upaya tidak terjadi pengakuan diam-diam oleh Indonesia atas klaim unilateral TFG dalam wilayah NDL, hal ini dikarenakan klaim unilateral oleh cina tidak memiliki dasar hukum internasional; dalam upaya penegakan hukum di rezim laut ZEE harus dilakukan oleh institusi yang tepat, yaitu institusi yang mempunyai kewajiban penegakan hukum di wilayah pantai, sinergitas antara antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, khususnya TNI AL dan Bakamla dalam hal ini untuk menjaga keamanan wilayah rezim laut ZEE; memberikan perlindungan aktif kepada nelayan Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE Indonesia bila dirasa perlu; mendukung pelaku usaha kelautan Indonesia untuk memaksimalkan eksploitasi sumber daya laut sebagai tidak hanya sebagai wujud Indonesia melakukan okupasi aktif juga menghadirkan negara dalam peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan memanfaatkan wilayah laut baik laut teritorial hingga ZEE sesuai hukum laut internasional.