Beberapa hari ini, beranda hiburan, setidaknya seperti itu yang diberitakan oleh sejumlah media, disuguhkan dengan kehadiran 3 anak buda yang disebut-sebut mirip dengan anggota grup lawak terkenal Warkop DKI, yakni Dono, Kasino dan Indro. Mereka adalah Sepriadi Chaniago, Alfred, dan Alfin Dwi Krisnandi. Hadirnya 3 sosok yang sepintas menurut pendapat subjektif penulis memang mirip pada beberapa sisi, dan tentu ada sisi yang tentu tidaklah mirip sama sekali, seolah membuat rindunya public terhadap grup lawak yang dua anggotanya sudah meninggal dunia itu sedikit terobati. Paling tidak, publik kembali diingatkan pada sosok-sosok fenomenal ini. Merasa diterima publik barangkali, grup yang kemudian diketahui menamai dirinya sebagai Warkopi ini, meproduksi beberapa konten yang secara visual maupun verbal, berusaha meniru Warkop DKI. Intinya, semua diusahakan seperti Warkop DKI. Apa yang mereka lakukan ini pada akhirnya direspon oleh Indro, anggota grup yang masih eksis hingga kini. Ia tidak teerima, sebab salahs atu alasanya, itu pelanggaran terhadap kekayaan intelektual (KI), terutama hak cipta ia dan dua sahabatnya, Dono dan Kasino.

Warkop DKI, Warkopi, & Fenomena Pelanggaran KI

Warkop DKI adalah legenda. Sekalipun sudah ditinggalkan oleh dua anggotanya yang sudah terlebih dahulu menghadap Sang Khalik, karya-karya salah satu grup lawak dengan jumlah film cukup fantastis ini tetap dikenang dan dinikmati hingga saat ini. Beberapa film yang mereka bintangi bahkan sempat diproduksi ulang. Beberapa acara televisi pun diketahui sempat memparodikan gaya melawak mereka. Beberapa musik khas dari film ini, pun menjadi pemantik bagi siapa pun untuk mengenang karya masterpiece Warkop DKI. Itu artinya, dalam konsep kekayaan intelektual, royalti terus diterima meskipun Dono dan Kasino sudah tiada.

Hadirnya Warkopi yang pada awal kemunculannya diidentikkan dengan Warkop DKI, mulanya dianggap sebagai bagian dari betapa Warkop DKI betul-betul tetap eksis dan tidak sirna oleh waktu. Warkopi boleh jadi dianggap sebagai duplikasi yang bisa menjadi pelipur rindu akan Warkop DKI. Grup ini pun mulai memproduksi sejumlah karya yang pada perkembangannya kemudian ternyata berpotensi pada masalah. Indro, pentolan Warkop DKI masih terus berkarya hingga kini, mulai mempersoalan cara Warkopi yang ia nilai tidak menghargai kekayaan intelektual, yakni hak cipta, dan tentu merugikan mereka. Dirugikan baik dari aspek moral maupun ekonomi.

Dibandingkan dengan cabang HKI lain, pelanggaran terhadap objek yang secara normatif sudah dilindungi oleh rezim hak cipta berlangsung dengan masif, terang-terangan, dan dilakukan oleh banyak kalangan dan di banyak bidang. Pelanggaran itu dilakukan dari masyarakat biasa, pelaku usaha, yang pada prinsipnya merugikan kepentingan ekonomi pemegang hak cipta, bahkan kadangkala merugikan secara moral. Dalam konteks ini, selain ketiadaan royalti yang diterima oleh pemegang hak cipta, hak moral yang melekat pada seorang atau beberapa orang pencipta kadangkala didistorsi begitu saja. Misalnya, lagu yang semula memiliki makna yang positif, sebab diaransemen ulang (tanpa izin), lirik-liriknya diubah atau ditambah dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang sehingg makna atau kesannya menjadi negatif. Ini tentu sangat berbahaya bagi nama baik pencipta.

Apa yang dilakoni oleh Warkopi menambah panjang daftar tidak dihargainya karya-karya yang bernilai intelektual. Apa yang mereka lakukan dengan memproduksi konten bergaya layaknya Warkop DKI tentu telah melanggar hak cipta, apalagi jika terbukti mereka tanpa hak atau tanpa izin sudah mendapatkan keuntungan atas konten yang mereka produksi, sebagaimana yang diatur  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hak cipta merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki objek dilindungi, salah satunya adalah seni. Dengan sifatnya yang automatically protection, tanpa didaftarkan sebuah karya seseorang dalam ranah hak cipta, sebuah karya cita sudah mendapatkan perlindungan secara hukum. Terlepas siapa pun yang sekarang yang memegang hak cipta atas karya-karya Warkop DKI, meniru ulang dengan motif ekonomi adalah pelanggaran.

Membangun Kesadaran KI

Tulisan ini sebetulnya tidak hendak langsung menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Warkopi salah, oleh karenanya mereka dapat dituntut secara hukum, baik perdata maupun pidana. Lebih dari itu, tulisan ini mencoba untuk sekadar memberikan semacam pemikiran bahwa kekayaan intelektual dalam beragam bentuknya, terutama hak cipta, itu dekat dengan kehidupan kita sehari-sehari. Terlampau dekatnya, maka dengan mudahnya pula pelanggaran terhadapnya dilakukan, bahkan (mungkin) oleh diri kita sendiri. Itu artinya, ada persoalan serius pada ranah kesadaran hukum kita terhadap persoalan kekayaan intelektual.

Harus diakui, kesadaran atas kekayaan intelektual masyarakat Indonesia masih rendah, baik dalam konteks pengetahuan terhadap pentingnya perlindungan karya yang pada hakikatnya dapat diberikan perlindungan perspektif kekayaan intelektual, maupun dalam menghargai karya milik orang lain yang itu pun dilindungi oleh undang-undang, misalnya hak cipta. Indikator sederhananya, maraknya pelanggaran terhadap hak cipta. Mengunduh film dari laman yang illegal adalah salah satu contohnya, termasuk membeli buku bajakan yang harganya jauh lebih murah dari harga yang asli. Di era digital seperti saat ini, ruang dilakukannya pelanggaran itu semakin terbuka luas.

Menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap kekayaan intelektual memang bukan perkara gampang, apalagi dengan tipikal masyarakat Indonesia yang cenderung lebih mengacu pada persoalan untung atau rugi. Jika seseorang lebih untung membeli barang bajakan, mengapa harus membeli barang asli yang mahal? Begitulah kira-kira. Padahal, di sisi lain ada usaha, waktu dan juga biaya yang tidak sedikit dalam proses melahirkan sebuah karya. Apalagi, kemampuan intelektual adalah persoalan kemampuan individual yang belum tentu dimiliki oleh semua orang. Bila si A memiliki kepiawaian dalam mengolah pikirannya sehingga setiap yang diucapkan mengundang gelak tawa, itulah kemampuan intelektual individual seseorang yang belum tentu kepiawaian itu dimiliki oleh orang lain. Itulah kekayaan intelektual yang sudah sepantasnya dilindungi oleh undang-undang, dan sudah sepantasnya pula untuk dihargai. Mari menghargai karya intelektual.(*)

Darwance

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Bangka Pos 30 September 2021