Sri Hartati
Mahasiswi FH UBB
(Opini Babel Pos, 16 Februari 2021) Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia dan setiap warga negara Indonesia berhak untuk mengemukakan pendapatnya baik lisan maupun tulisan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kebebasan berpendapat dapat bertujuan untuk memberi masukan yang baik dan membangun hal-hal yang postif, tetapi dalam hal ini penilaian setiap manusia berbeda-beda dan biasanya jika seseorang tidak menerima kritikan atau masukan tersebut sehingga dapat menimbulkan rasa ketersinggungan. Kebebasan berpendapat ini biasanya sering disalahgunakan untuk menghina, menghujat, menista dan berkomentar yang tidak sesuai etika sopan santun apalagi perilaku menghina, menghujat dan menista tersebut dilakukan di muka umum sehingga seseorang atau lembaga yang merasa dirugikan akan hal tersebut karena diketahui khalayak umum. Hal merugikannya yaitu seperti menghambat kinerja seseorang, merusak popularitas dan karir seseorang, dan merusak citra atau nama baik seseorang maupun dampak lainnya yang merugikan bagi setiap orang maupun lembaga.
Kebebasan berpendapat dalam hal ini bukan secara bebas sewenang-wenang berpendapat yang tidak sesuai etika dan melanggar aturan. Bebas dalam artian bebas berpendapat dan merdeka tetapi dalam batasan-batasan yang mengaturnya yaitu berdasarkan undang-undang yang mengatur. Kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berpendapat diatur juga dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan negara. Berdasarkan bunyi setiap pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia yang bisa dilakukan baik lisan maupun tulisan dengan memperhatikan nilai-nilai moral masyarakat dan hukum yang berlaku.
Terdapat kasus pencemaran nama baik yang terjadi tepatnya di Parigi Moutong dan yang terlibat dalam kasus tersebut ialah seorang jurnalis koranindigo.online yang bernama Genjar Djarot di laporkan oleh mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Anuntaloko Parigi, Nurtela Harate. Gencar ditetapkan tersangka karena tulisannya yang diduga mengkritisi kebijakan RSUD terkait seorang pasien sakit dan akhirnya meninggal dunia pada Januari 2019. Pasien itu diketahui tidak bisa membayar biaya perawatan hingga memberikan jaminan pada pihak RSUD. Genjar Djarot dipersangkakan Pasal 45 ayat 3 Jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman pidana penjara tiga tahun penjara. Dari kasus tersebut dapat kita lihat bahwasanya Genjar Djarot tersebut sebenarnya membela seorang pasien yang tidak diberikan pelayanan dengan baik dalam artian untuk kepentingan umum dan bukan bermaksud untuk dengan sengaja mencemarkan nama baik RSUD tersebut dan tujuannya hanya meminta keadilan dengan mengusulkan pendapatnya terhadap kebijakan dari RSUD tersebut.
Seseorang dapat bertanggungjawab atas kesalahan atau perbuatannya apabila telah memenuhi unsur tindak pidana pencemaran nama baik yang terdapat dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP menjelaskan bahwa Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau norma baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Seseorang dapat juga bertanggungjawab atas perbuatannya dilihat dari kondisi psikologis seseorang normal atau tidak normal dan melihat perbuatan tersebut dilakukan karena kesengajaan dan atau dilakukan karena kelalaian.
Dalam menentukan suatu perbuatan tindak pidana pencemaran nama baik ialah Hakim yang dapat menentukan dan memutuskan suatu perkara di pengadilan. Hakim dapat melihat prtanggungjawaban pidana yang berupa kesalahan dengan meninjau pada undang-undang yang berlaku yaitu Pasal 310 ayat 1 KUHP tentang pencemaran nama baik dan melihat psikologis seseorang atau sikap batin seseorang dan melihat menghendaki atau tidak suatu prbuatan tersebut. Hakim dalam menjatuhkan suatu pidana paling tidak harus ada dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim berdasarkan Pasal 183 KUHAP. Terdapat pada penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat itu tidak semua dengan mudah di jerat ke dalam suatu tindak pidana pencemaran nama baik.
Kita sebagai warga negara Indonesia bebas mengeluarkan ekspresi termasuk bebas mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan karena kita memiliki hak asasi manusia tetapi bebas tersebut harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jadi bijaklah dalam mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan apalagi di zaman perkembangan teknologi bukan hanya memberikan dampak yang positif tetapi juga dampak negatif terutama bagi pemakai sosial media. Seperti sering terjadi penyimpangan penggunaan sosial media dengan memberikan komentar buruk dengan maksud mempermalukan seseorang atau mencemar nama baik seseorang.