Anwar UBB

Muhammad Syaiful Anwar, S.H., LL.M

Dosen HTN FH UBB / Kader PWPM Babel

 

(Terbit di Bangka Pos, tanggal 10 September 2021) Aksi koruptif para elit eksekutif baik di pusat maupun daerah masih terus berlanjut, hal ini menambah daftar hitam dan panjang kasus korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam beberapa waktu yang lalu menggeledah dan menjadikan beberapa pemimpin daerah menjadi tersangka, diantaranya yang terkini ialah Bupati Probolinggo Jawa Timur dan Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah yang diduga melakukan tindakan korupsi baik dalam jual beli jabatan maupun dalam pengadaan barang dan jasa. Hal ini merupakan hal yang miris di saat pemerintah dan masyarakat bahu membahu dalam mengatasi berbagai masalah pandemic, namun justru terdapat berbagai tindakan a-moral yang dilakukan oleh para pimpinan daerah.

Tindakan koruptif para sebagian kaum elitis ini, merupakan hasil sistem politik pragmatis yang terjadi di Indonesia yang berkedok reformasi. Jadi pantas lah dikatakan banyak pihak bahwa terdapat adagium Reformasi_dikorupsi menggaung dijagad media online. Secara khusus dikualifisir terkait dengan pola politik kepala daerah yang secara tidak langsung ikut andil dalam praktik pragmatis kepala daerah di Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya biaya dalam berpolitik di Indonesia, kemudian kewenangan yang ada di daerah memunculkan “raja-raja kecil” yang memunculkan kekuasaan yang cukup tinggi untuk mencari, memilih, memilah dan mengeksekusi korupsi dana dari negara demi kepentingan pribadi ataupun golongan sendiri. Hal ini ditambah dengan adanya kesempatan serta rendahnya integritas dari para pemimpin daerah tersebut. Tingkat koruptif sendiri secara tidak langsung merangkak naik seiring dengan semakin jeli dan terampilnya para pelaku tindakan koruptif “dibalut” dengan pengambilan keputusan yang berbasis diskresi tanpa adanya pengawasan yang memadai sehingga terjadi praktik korupsi yang terstruktur, sistematis dan masif.

Hal yang menarik terkait berbagai kasus korupsi kepala daerah ini bisa diliahat dari sisi administrasi negara yakni berbasis penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan integritas, komitmen dan mengedepankan prinsip good governance dalam menjadalankan pemerintahannya. Pola tata kelola pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabel merupakan sasaran dari prinsip good governance yang dijalankan di Indonesia. Dari beberapa sumber referensi, terdapat beberapa modus operandi yang dilakukan kepala daerah dalam menjalankan aksi koruptif tersebut, diantaranya berkaitan dengan intervensi dalam kegiatan belanja daerah mulai dari pengadaan barang dan jasa; penempatan dan pengelolaan kas daerah; pelaksanaan hibah dan bantuan sosial (bansos); pengelolaan aset; hingga penempatan modal pemda di BUMD atau pihak ketiga. Kemudian, intervensi dalam penerimaan daerah mulai dari pajak daerah dan retribusi; pendapatan daerah dari pusat; sampai kerja sama dengan pihak lain. Modus operandi lainnya dapat ditengarai dengan adanya intervensi dalam pemberian perizinan mulai dari pemberian rekomendasi; penerbitan perizinan; sampai pemerasan atau pungutan liar agar urusan bisa lancar. Dalam beberapa contoh modus korupsi lainnya ialah berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa yang secara nyata dilakukan oleh pemerintah daerah, berkaitan dengan jual beli jabatan baik dalam rotasi, mutasi, promosi dan rangkap jabatan. Hal ini seolah-olah menjadi “hal-hal sepele” dalam kegiatan penyalahgunaan kewenangan yang ada di daerah sehingga muncul tindakan koruptif sebagai kompensasi atas celah hukum berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Seperti yang dipaparkan di atas, tindakan korupsi kepala daerah tidak lepas dari faktor biaya politik tinggi (high cost politics). Secara tidak langsung, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang diberlakukan dalam sistem pengisian jabatan eksekutif daerah, melakukan banyak agenda masif koruptif awal dengan adanya mahar politik maupun adanya vote buying. Walaupun dalam masyarakat vote buying ini masyarakat sadar bahwa yang dilakukan itu salah, namun masyarakat berpikiran bahwa “uang pemilihan” tersebut adalah bentuk nyata atau bentuk realisasi yang beruwujud didepan mata terkait janji politik yang dilontarkan oleh para calon pemimpin daerah tersebut. Tingginya arus perputaran uang dalam Pilkada di Indonesia juga didukung oleh lemahnya integritas dan pengawasan Partai Politik (Parpol). Parpol yang seharusnya sebagai wadah ataupun sarana pencegahan korupsi para kadernya, namun justru menjadi ambil bagian dari masalah korupsi tersebut. Tindakan koruptif tersebut dilakukan oleh kepala daerah sebagai bentuk pengembalian dari biaya yang telah dikeluarkan selama proses berjalannya Pilkada tersebut.

Hal yang menarik disampaikan oleh Peneliti PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar, selaku pemerhati anti korupsi, beliau memaparkan fakta adanya ratusan kepala daerah yang terlibat kasus korupsi menunjukkan bahwa ada kegagalan sistem pengawasan pemerintah pusat. Bahkan kadangkala korupsi di daerah juga merupakan kreasi dari pusat. Dalam kondisi ini, jangan sampai pemerintah justru memunculkan solusi dengan konsep yang ajaib, seperti konsep resentralisasi karena hal tersebut belum tentu menjadi jawaban atas persoalan korupsi di daerah. Jadi secara prinsip dari analisa Peneliti PUKAT UGM tersebut dapat di tarik simpulan bahwa tindakan korupsi kepala daerah merupakan bagian dari kegagalan pemerintah pusat dalam membangun komunikasi dan pengawasan yang baik ke daerah.

Tindakan korupsi sendiri secara prinsip merupakan tindakan yang harus di kurangi atau diminimalisir dengan berbagai cara, salah satunya dengan upaya pencegahan yang berbasis sistem Early Warning System (EWS) terhadap para pimpinan daerah. Sistem ini digunakan dengan menerapkan beberapa pola dasar tindakan pencegahan korupsi yang berbasis pada sistem pengawasan internal maupun eksternal. Hal yang menarik bila dipersepsikan dalam pola pengawasan ini melalui dua (2) pola yakni pola horizontal dan pola vertical. Dalam pola horizontal merupakan pola pengawasan yang baik dan tersistematis dengan tegas baik dari sisi internal maupun eksternal diharapkan mampu meminimalisir tindakan koruptif yang ada didalam level pemerintahan yang sejenis. Kemudian dari sisi pola vertical, yakni pengawasan yang baik dan terencana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah guna mendukung pemurnian sistem pengawasan pemerintahan menuju Good Governance. Hal ini penting diutarakan sebagai bentuk implementasi asas umum pemerintahan yang baik. Pemimpin daerah seyogyanya sebagai panutan dalam proses kepemimpinan daerah yang menjunjung tinggi integritas, kompetensi, kapasitas, kapabilitas, serta pola pikir berkemajuan guna membangun daerah untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.