PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN DALAM KONDISI NEW NORMAL

(Opini Bangkapos, 13 Juli 2020)

M. Syaiful Anwar, S.H., LL.M

Dosen HTN FH UBB

 

Pemerintah hakikatnya merupakan pendulum kekuasaan dalam mengatur warganya melalui kekuasaan negara. Kewenangan yang diberikan untuk mengatur kepentingan warga negaranya. F. Iswara dalam bukunya Pengantar Ilmu Politik menyebutkan bahwa, para ahli seperti Plato dalam bukunya Republic, menyatakan bahwa negara timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan umat manusia. Tiada manusia yang dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri-sendiri sedangkan masing-masing manusia mempunyai banyak kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut memerluakan orang lain, maka dibentuk negara.(F. Iswara : 1992:194). Negara sendiri sebagai sebuah “abstraksi” kepentingan dan kebutuhan warganya mendelegasikan kekuasaannya melalui pemerintah untuk mengatur hajat hidup orang banyak yang ditekstualkan sebagai rambu-rambu negara melalui Konstitusi.

Pemenuhan kebutuhan warga negara salah satunya melalui pembangunan masyarakatnnya dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusianya via pendidikan. Secara umum, merujuk diksi pendidikan, akan masuk dalam dalam ranah dikotomi HAM dalam  dunia pendidikan, yaitu HAM Sipil dan Politik dan HAM Ekonomi, Sosial dan Budaya. Konsep HAM yang secara utuh atau inherent dengan pola kehidupan sosial masyarakat, dilindungi oleh negara semata-mata sebagai bentuk kewajiban dan tugas negara. Berkaitan  dengan  pemenuhan  kedua  kelompok  HAM  tersebut,  Scott Davidson  dalam bukunya berjudul “Human Rights” menegaskan  bahwa  hak  sipil  dan  politik  dapat  segera  dilindungi, sedangkan  hak  ekonomi,  sosial,  dan  kultural  (budaya)  memerlukan  pelaksanaan yang  progresif.(Scott Davidson,1994:58). Secara aturan, di Indonesia sudah diberikan jaminan atas HAM yang berkaitan dengan jaminan manusia dan kemanusiaan, yaitu di dalam Pasal 27-31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merujuk pada kebutuhan rakyat menjadi tanggungjawab negara kemudian dilaksanakan oleh pemerintah sebagai unsur pelaksana kekuasaan.

Negara secara esensinya memberikan perlindungan dan mencukupi kebutuhan warga negaranya, salah satunya kebutuhan akan pendidikan yang sudah diderivasikan melalui peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan di Indonesia. Walaupun secara nyata, dunia pendidikan kita masih belum bisa sejajar dengan progress pendidikan di negara lain. Kenyataan ini banyak faktor yang bisa dilihat secara kasat mata, salah satunya adalah belum maksimalnya pemerataan sumber daya manusia yang berpendidikan di daerah-daerah pelosok dan perbatasan, sarana dan prasarana yang belum cukup memadai merupakan bentuk nyata belum tercapainya tujuan negara yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Banyak juga yang berpendapat bahwa salah satu faktornya adalah kurang efektifnya penerapan aturan terkait pendidikan, salah satunya di Pasal 31 ayat (4) yang secara esensinya mengisyaratkan bahwa 20% dari APBN yang ada diperuntukan kepada pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

Pendidikan di Indonesia dalam beberapa bulan kebelakang, dunia pendidikan kita seolah-olah “mati suri” oleh karena Pandemi Corona-19. Pola penyebaran virus Covid-19 ini sangat massive dan bahkan terdapat terjangkit virus ini tanpa adanya gejala sakit atau sering disebut Orang Tanpa Gejala (OTG). Dampak virus ini yang terasa adalah bagaimana perubahan peta pendidikan Indonesia yang sebelumnya menggunakan sistem tatap muka berubah menjadi sistem daring atau on-line. Secara nyatanya banyak yang muncul dari sistem daring atau on-line ini, baik dari sisi sarana dan prasarana khususnya sinyal untuk mengakses, media yang digunakan (handphone atau laptop) yang tidak semua masyarakat memiliki yang menunjang sistem daring tersebut, ataupun masalah lain yang secara tidak langsung berimbas dengan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.

Efek atas perubahan pola dan proses belajar mengajar tersebut dan dampak lainnya, pemerintah segera mengupayakan sebuah pola kehidupan masyarakat yang menuju pada budaya baru dengan sebutan New Normal. New Normal sendiri merupkan diksi yang merujuk pada pola perubahan perilaku dalam bidang kesehatan, sosial, ekonomi, dan aspek kehidupan sosial lainnya dengan penyesuaian aktivitas masyarakat. Pandangan yang secara komprehensif disebutkan oleh Prof. Dr. Rahayu Surtiati, seorang ahli dan pakar bahasa dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa Badan Bahasa sudah memberikan penafsiran terhadap New Normal dalam istilah Indonesia yaitu Kenormalan Baru. Badan Bahasa kemudian membuat padanannya menjadi Kenormalan. Karena kalau normal adjektiva kata sifat, jadi Kenormalan Baru. (Detiknews, “Tentang New Normal di Indonesia”).

New Normal yang digadang-gadang oleh pemerintah sebagai langkah awal strategis untuk mengembalikan kesiapan Indonesia khususnya warga negaranya, juga berimbas pada pola kebijakan pada pola pemetaan pendidikan nasional di Indonesia. Dengan langkah besar ini, pola pendidikan Indonesia secara utuh dapat ditinjau dari aspek, salah satunya HAM tentang pendidikan. Dalam konteks HAM, Hernadi Affandi dalam tulisannya di Jurnal Hukum POSITUM, menyebutkan bahwa dikenal 3 (tiga) langkah penting, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Ketiga langkah tersebut merupakan rangkaian yang saling berkaitan dan merupakan proses dari hulu sampai ke hilir. Artinya,  bahwa  langkah  pertama  akan  membawa dampak pada langkah kedua, seterusnya langkah kedua akan mempengaruhi langkah ketiga. Dengan demikian, sebelum langkah ketiga harus didahului oleh langkah kedua, dan sebelum langkah kedua harus didahului oleh langkah pertama. Oleh karena itu, langkah terakhir akan menjadi puncak dari bentuk pertama dan kedua. Konstitusi sudah mengamanatkan bahwa pemenuhan HAM termasuk Hak Atas Pendidikan (HAP) merupakan tanggung jawab negara khususnya pemerintah. Pengaturan dan jaminan tersebut sudah sangat kuat karena diatur di dalam UUD atau konstitusi. Pengaturan tersebut  membawa konsekuensi adanya tugas dan tanggung jawab negara, dalam hal ini Pemerintah  baik Pusat maupun Pemerintah Daerah, untuk memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pendidikan. Namun demikian, jaminan konstitusional tersebut di dalam praktik ditengarai belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena berbagai alasan.(Hernadi Affandi, 2017:18)

Pemetaan sistem pendidikan yang sedang dibentuk oleh negara, juga harus ditunjang oleh para pemangku kepentingan, salah satunya adalah masyarakat itu sendiri. Secara sadar maupun tidak, partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di Indonesia pasang surut. Sejatinya semakin tinggi pendidikan masyarakat secara nasional maka akan menjadi parameter akan kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusianya. Dengan adanya hal tersebut, semoga mendorong pemerintah untuk menyelesaikan percepatan dan peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang ungul lebih cepat tercapai. Berbagai kendala atas percepatan peningkatan pendidikan di Indonesia bisa diselesaikan melalui konsep “Gotong Royong” dari berbagai elemen agar pencapaian pendidikan berkualitas bisa tercapai.

Penerapan pemenuhan hak pendidikan masih banyak hambatan yang selalu menyelimutinya baik dalam ranah sistem maupun teknis pelaksanaan di lapangan. Berbagai macam aturan telah dibuat dan dibentuk serta dilaksanakan namun masih saja ada tahap pelaksanaan di tingkat paling kecil belum bisa merasakan pendidikan yang sudah digulirkan oleh negara. Masih adanya elemen masyarakat nyang belum terakomodir. Kondisi ini bisa menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah dan bagi negara pada umumnya dalam rangka pemenuhan hak atas pendidikan yang termaktub dalam Tujuan Negara dalam Pembukaan UUD NRI 195 serta batang tubuh UUD NRI 1945 terkait pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemenuhan hak atas pendidikan merupakan perwujudan dari tanggungjawab negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pendidikan merupakan cikal bakal keberlanjutan suatu negara, karena dengan pendidikan menjadikan negara semakin maju dan dengan pendidikan negara menjadi lebih bisa meyongsong Indonesia unggul.