ANTARA RAKYAT, APARAT, ATAU DPR YANG NEKAT: PANDANGAN DALAM POLITIK HUKUM INDONESIA
Gelombang demonstrasi besar yang belakangan terjadi berawal dari sebuah pernyataan yang lahir dari gedung parlemen yang seharusnya membawa harapan, tetapi kali ini justru menorehkan luka. Diamnya para wakil rakyat dengan alasan rapat di balik pagar tinggi DPR menambah tebal jurang ketidakpercayaan. Situasi yang awalnya berupa unjuk rasa damai berubah menjadi chaos. Di titik ini, politik hukum kehilangan fungsi mediasi. Masyarakat tak lagi percaya pada kanal institusional, apalagi media dibatasi. Sementara DPR tetap berjalan dengan logika kepentingan internal. Benturan pun tak terhindarkan dengan aparat hingga menyebabkan korban jiwa. Aparat yang sejatinya hanya menjalankan tugas keamanan pun diposisikan seolah menjadi pelindung DPR, padahal mereka sendiri tidak memiliki hak pilih. Tuntutan rasional berubah menjadi anarki ketika gedung pemerintahan dibakar hingga rumah anggota DPR pun di jarah. Ironisnya, fasilitas umum yang sejatinya milik rakyat, maupun cagar budaya, menjadi sasaran amuk massa. Dalam konteks inilah, opini publik harus menyadari bahwa kerusuhan semacam ini sangat rawan ditunggangi. Massa bisa saja disusupi oleh elite lain yang memiliki agenda politik berbeda, sehingga arah kemarahan menjadi semakin kabur.
UUD 1945 melalui Pasal 28E ayat (3) secara tegas menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Tetapi ketika aspirasi ini berubah menjadi kekerasan, korban pun berjatuhan-rakyat, aparat, dan fasilitas publik menjadi korban kerusuhan. Rakyat terpecah—sebagian mendukung aksi sebagai luapan ketidakadilan, sebagian menolak kekerasan yang menghancurkan ruang publik. Hasilnya adalah korban berganda: rakyat melawan aparat, rakyat melawan rakyat, dan ruang demokrasi dipenuhi luka serta kebingungan. Situasi ini semakin jelas ketika Presiden memerintahkan tindakan tegas terhadap massa yang anarkis, menegaskan bahwa negara hadir untuk menegakkan hukum, sekaligus mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat tetap harus berjalan dalam koridor hukum.
Di tengah eskalasi konflik, Presiden akhirnya mengambil langkah tegas: tunjangan DPR diputuskan bakal dicabut, sementara kunjungan ke luar negeri dimoratorium. Secara politik hukum, langkah ini adalah upaya mengembalikan legitimasi negara dengan menunjukkan keberpihakan pada aspirasi publik. Namun, apakah kebijakan itu cukup untuk meredam krisis kepercayaan?
Dalam politik hukum, fenomena ini menunjukkan lemahnya mekanisme penyampaian aspirasi serta rapuhnya saluran komunikasi antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat. Ketika ruang partisipasi politik tertutup, jalanan menjadi ruang alternatif—meski berisiko tinggi. Tidak menutup kemungkinan aksi yang awalnya murni menyuarakan penolakan disusupi dengan agenda lain. Mengingatkan bahwa demonstrasi bisa bergeser dari “gerakan rakyat” menjadi “alat politik.” Politik hukum tidak hanya berhenti pada produk undang-undang, melainkan juga bagaimana hukum tersebut direspons oleh publik. Politik hukum seharusnya menjadi instrumen korektif terhadap praktik kekuasaan, bukan sekadar solusi reaktif setelah krisis meledak. Tanpa perubahan mendasar pada budaya politik DPR dan pola relasi antara rakyat serta wakilnya, kebijakan Presiden hanya bersifat sementara. Kedepannya, pembuat kebijakan harus menyadari bahwa ruang dialog substantif jauh lebih penting daripada sekadar prosedural formalitas. Jika tidak, politik hukum hanya akan menjadi panggung elite, sementara rakyat mencari jalannya sendiri—entah melalui demonstrasi damai, atau dalam bentuk letupan-letupan yang jauh lebih destruktif.
(Penulis: Silvianti)