Kualitas Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk kita miliki sebagai seorang manusia. Fenomena yang muncul di negara Indonesia dimana adanya pola pikir yang timpang antara rakyat dan elit politik. Seperti yang kita ketahui negara kita sendiri Indonesia sedang mengalami kericuhan dimana masyarakat merasa marah kepada negara. Salah satu penyebab masyarakat marah merupakan adanya kesenjangan syarat minimal Pendidikan terhadap rakyat dan wakil rakyat, yang dimana rakyat dituntut banyak syarat untuk memasuki dunia kerja dengan pendapatan yang tidak seberapa sedangan untuk menjadi wakil rakyat kita hanya perlu sekolah sampai tingkat menengah keatas. Melihat dari kacamata hukum, pada Pasal 240 ayat (1) bagian f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatakan bahwa syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya berpendidikan paling rendah sekolah menengah keatas atau SMA dan sepantarannya. Sedangkan rakyat biasa yang ingin melamar kerja menjadi bagian dari pemerintahan seringkali minimal Pendidikannya itu Sarjana (S1), bahkan ada yang mensyaratkan S2. Wakil rakyat yang mempunyai fungsi untuk membentuk Undang-Undang dimana Undang-Undang tersebut sebagai pedoman aturan di negara Indonesia untuk mengatur masyarakatnya dan juga bertugas untuk mengawasi pemerintahan justru tidak dituntut untuk memiliki Pendidikan tinggi seperti rakyat biasa. Akibatnya, fakta dilapangan yang terjadi di Indonesia saat ini dengan latar belakang Pendidikan wakil rakyat yang minim kualitas legislasi berpotensi rendah dan sering bermasalah karena tidak dibekali kapasitas intelektual yang memadai, rakyat butuh wakil yang benar-benar kompeten. Pola pikir yang timpang ini memperlihatkan bahwa elit politik seringkali menikmati kelonggaran hukum yang tidak sejalan dengan tuntutan keras terhadap rakyat. Dari perspektif hukum progresif, kesenjangan ini berpotensi merugikan kualitas demokrasi. Legislasi yang dihasilkan oleh parlemen membutuhkan analisis hukum, pemahaman global, dan kemampuan argumentatif yang dalam praktikya sulit dicapai tanpa fondasi Pendidikan tinggi. Kesenjangan syarat Pendidikan menciptakan ketidakadilan structural yang dimana rakyat harus berjuang menempuh Pendidikan tinggi hanya untuk menjadi pegawai biasa sementara elit politik dapat menduduki kursi legislatif dengan standar minimal. Solusi hukum yang bisa dilakukan Adalah negara dapat membuat regulasi mengenai kewajiban syarat Pendidikan bagi calon legislatif mirip dengan pejabat ASN. Hal ini bisa diatur melalui revisi Undang-Undang Pemilu atau peraturan KPU. Kemudian UU partai politik juga dapat direvisi untuk mewajibkan partai melakukan rekrutmen berbasis kapasitas dan integritas bukan semata popularitas atau modal finansial dan menambahkan ruang partisipasi publik dalam menilai menilai kerja legislator. (Penulis: Auryn Marshadiva)