POLITIK HUKUM DIPERSIMPANGAN: ANTARA ASPIRASI RAKYAT DAN REPRESIF YANG DILEGALKAN
Jaminan atas kebebasan individu di Indonesia dalam kerangka HAM telah secara inklusif dijadikan norma konstitusi dan disebutkan pada Pasal 28A-28J UUD 1945. John Locke dalam Two Treaties of Governments berpendirian bahwa dibentuknya sistem pemerintahan bertujuan untuk menjamin adanya pembatasan kekuasaan pemerintah atas warga negaranya. Karena itu, demonstrasi di ruang publik bukan sekadar hak, tetapi juga instrumen kontrol rakyat terhadap pemerintah. Namun, realitas politik hukum Indonesia akhir-akhir ini justru berbanding terbalik dengan cita-cita itu.
Gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia sejak 25-28 Agustus 2025 bukan sekadar letupan emosi massa, melainkan cermin krisis legitimasi politik hukum di negeri ini. Kebijakan kenaikan tunjangan DPR di tengah kesenjangan ekonomi masyarakat hanya memperlebar jurang kepercayaan antara rakyat dan wakilnya. Apa yang seharusnya menjadi sarana rekayasa sosial demi kesejahteraan, justru dipersepsikan sebagai simbol pengkhianatan terhadap keadilan. Tidak mengherankan jika tuntutan massa bergeser dari sekadar menolak kebijakan menjadi seruan radikal untuk membubarkan DPR. Lebih ironis, penyampaian aspirasi yang dijamin konstitusi berubah ricuh akibat pendekatan keamanan yang represif, hingga menelan korban jiwa.
Gelombang protes yang berakhir ricuh dengan korban jiwa seharusnya menjadi alarm bagi negara bahwa ada yang salah dengan cara bernegara kita. Diam di saat rakyat berteriak, lalu bicara hanya ketika nyawa sudah melayang, menunjukkan lemahnya kepekaan seorang kepala negara terhadap jeritan publik. Dalam situasi krusial, Presiden dinilai abai karena tidak segera menyatakan sikap sejak awal gelombang protes. Keterlambatan respons ini memperkuat kesan bahwa pemerintah lebih reaktif daripada proaktif dalam mendengar suara rakyat. Pada titik inilah politik hukum Indonesia menghadapi ujian serius: apakah ia akan terus melayani kepentingan elit atau berani kembali berpihak pada rakyat. Negara perlu segera membuka ruang dialog yang tulus, mengedepankan transparansi, serta mereformasi praktik legislasi agar politik hukum tidak lagi menjadi sumber kekecewaan, melainkan wadah rekonsiliasi yang mengikat kembali kepercayaan rakyat pada hukum dan demokrasi. Karena itu, Presiden harus melakukan evaluasi menyeluruh, berbenah, dan berani mengambil langkah besar: mereformasi kepolisian, meninjau ulang struktur kekuasaan legislatif, eksekutif, bahkan jika perlu membubarkan DPR yang justru menjadi sumber keresahan publik melalui kebijakan elitisnya. Negara tidak akan runtuh tanpa DPR atau menteri yang sarat kepentingan, tetapi akan runtuh jika terus membiarkan rakyat kehilangan kepercayaan pada hukum dan keadilan.
Menurut hemat penulis, solusi komprehensif terhadap krisis politik hukum Indonesia harus ditempuh melalui dua lapis strategi. Pertama, negara perlu segera menghentikan segala bentuk kekerasan aparat dan memastikan akuntabilitas melalui proses hukum terhadap pelanggar, diiringi pembebasan demonstran yang ditahan tanpa dasar yang sah. Di saat bersamaan, dibutuhkan forum dialog darurat yang melibatkan pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil sebagai bentuk implementasi asas partisipasi publik dalam pembentukan dan evaluasi kebijakan. Kedepan, reformasi kelembagaan mutlak dilakukan: DPR harus menjalankan transparansi anggaran dan akuntabilitas kinerja legislasi, kepolisian perlu dibenahi agar lebih selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, sementara Presiden dan Wakil Presiden dituntut untuk menjalankan kepemimpinan yang proaktif dan responsif sejak awal gejolak sosial. Dengan pendekatan ini, politik hukum dapat kembali berfungsi sebagai instrumen rekayasa sosial yang legitimate dan demokratis, alih-alih sekadar instrumen kekuasaan yang menjauh dari aspirasi rakyat.
(Penulis: Faidatul Hikmah)