Bangka Belitung, pulau-pulau dengan tanah kaya akan timah, telah lama menjadi ladang berkah bagi perekonomian. Selain sebagian masyarakat menafkahi keluarga, dari tambang itu pula negara meraup devisa. Namun di balik gemerlap keuntungan, tersimpan luka yang sering terabaikan: lahan rusak, air tercemar, dan ekosistem yang tergerus. Tambang timah adalah pedang bermata dua, antara berkah ekonomi sekaligus menjadi potensi petaka ekologis. Aktivitas pertambangan terutama yang ilegal atau kurang diawasi, telah meninggalkan bekas yang tak mudah pulih. Sungai berubah menjadi cokelat keruh, tanah pertanian kehilangan kesuburan, dan ekosistem laut terganggu. Kerusakan ini bukan sekadar statistik, tapi nyata dirasakan oleh masyarakat yang hidup berdampingan dengan tambang. Ironisnya, mereka yang seharusnya mendapat manfaat juga menjadi korban dari keuntungan yang dikejar. Regulasi yang mengatur lingkungan sudah ada salah satunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta peraturan turunan mengatur prinsip kehati-hatian, tanggung jawab pelaku usaha, dan partisipasi publik. Namun pada praktiknya di lapangan tidaklah sama. Penegakan hukum yang lemah, izin tambang diberikan tanpa transparansi, dan tindakan preventif jarang dilakukan. Tambang ilegal merajalela, sementara negara seakan menutup mata. Akibatnya, kerusakan lingkungan kian meluas, dan legitimasi hukum kian menurun di mata masyarakat. Lantas apakah ekonomi tetap lebih penting daripada keberlanjutan hidup? Tambang timah memang menambah devisa, tetapi apa artinya jika generasi mendatang mewarisi tanah tandus dan laut tercemar? Pembangunan yang tidak berkelanjutan hanyalah ilusi kesejahteraan semata. Negara, pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat harus sadar bahwa setiap kilogram timah yang diambil harus dibarengi dengan tanggung jawab ekologis. Solusinya harus lebih jelas, utamanya penegakan hukum harus tegas, izin tambang transparan, dan masyarakat di ikut sertakan dalam pengawasan. Tambang harus dikelola dengan prinsip green economy, memastikan manfaat ekonomi seimbang dengan perlindungan lingkungan. Tanpa itu, tambang timah akan terus menjadi cerita pedihβ€”di mana berkah ekonomi menelan petaka ekologis. Bangka Belitung tidak boleh lagi menjadi korban dari ambisi ekonomi semata. Saatnya hukum lingkungan berdiri tegak, dan masyarakat menikmati manfaat tambang tanpa kehilangan hak atas ekosistem yang sehat dan lestari. (Penulis: Silvianti)