HARMONISASI PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN : INDONESIA DALAM CERMIN PERBANDINGAN INTERNASIONAL
Penyelesaian sengketa lingkungan merupakan isu penting dalam mewujudkan keadilan ekologis. Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar hukum melalui Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup, yang menyediakan jalur litigasi maupun alternatif penyelesaian sengketa (APS). Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini masih menghadapi tantangan seperti proses yang berlarut, keterbatasan akses masyarakat, serta lemahnya eksekusi putusan terhadap korporasi. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia belum sepenuhnya efektif melidungi kepentingan publik.
Jika melihat praktik internasional, terdapat beberapa model yang dapat menjadi cermin. Di Amerika Serikat, mekanisme citizen suit memberi ruang luas bagi masyarakat untuk menggugat pencemar lingkungan berdasarkan Clean Water Act dan Clean Air Act. Gugatan ini lebih efektif karena disertai dengan sanksi finansial yang berat serta pengawasan yang ketat, sehingga Perusahaan cenderung lebih patuh. India dan Filipina mengembangkan green bench atau pengadilan khusus lingkungan, yang membuat proses lebih cepat dan fokus pada pemulihan ekosistem ekosistem. Sementara itu, Uni Eropa menekankan prinsip acsess to justice dan precaunitory principle, yang mengedepankan pencegahan dibandingkan sekedar penindakan. Model-model ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyaraakat, kecepatan proses, dan keberpihakan pada lingkungan merupakan kunci efektivitas.
Alasan gugatan di negara lain lebih efektif dibandingkan dengan Indonesia adalah karena akses keadilan lebih luas, masyarakat sipil diberi legitimasi hukum untuk berperan aktif. Kemudian efektivitas eksekusi putusan lebih tinggi, termasuk pengenaan denda besar atau perintah pemulihan lingkungan dan yang terakhir adanya lembaga khusus yang membuat proses penyelesaian lebih cepat dan tidak bercampur dengan perkara umum.
Indonesia dapat belajar dari praktik tersebut untuk melakukan harmonisasi hukum. Bukan dengan menyalin mentah, melainkan menyesuaikan prinsip-prinsip yang terbukti efektif dengan konsep nasional. Misalnya dengan membentuk pengadilan khusus lingkungan didaerah rawan sengketa, memperkuat peran masyarakat sipil melalui mekanisme gugatan sederhana, serta menjamin pelaksanaan putusan pengadilan agar tidak berhenti diatas kertas. Salah satu contoh lemahnya implementasi di Indonesia terlihat pada kasus PT Freeport Indonesia, dimana meskipun laporan kerusakan lingkungan massif, penyelesaian melalui jalur hukum belum sepenuhnya menjamin pemulihan ekologis.
Dengan demikian, harmonisasi penyelesaian sengketa lingkungan sangat penting dilakukan sebagai langkah progresif. Tujuannya bukan hanya menciptakan kepastian hukum, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang.
(Penulis: Auryn Marshadiva)