PANDAWARA DAN DEKONSTRUKSI POLITIK HUKUM LINGKUNGAN MENUJU PARADIGMA EKOSENTRIS
Formulasi normatif dalam Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara deterministik menetapkan kewajiban konstitusional negara untuk menjamin hak setiap warga negara memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup tidak sekadar amanat moral, melainkan hak konstitusional yang wajib dijamin melalui instrumen hukum nasional maupun internasional. Akan tetapi, politik hukum lingkungan tidak semata-mata berhenti pada lahirnya produk hukum, melainkan diuji dalam tataran implementasi yang konsisten dan efektif. Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, menghadapi kompleksitas persoalan sosial yang berlapis, salah satunya adalah permasalahan sampah yang kian mengkhawatirkan. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024 hasil input dari 321 kab/kota se-Indonesia menunjukkan bahwa timbulan sampah nasional mencapai 35.015.331,53 ton per tahun, di mana sekitar 60,11% atau 21.047.617,42 ton di antaranya tidak terkelola dengan baik. Fakta ini menegaskan adanya kesenjangan serius antara regulasi hukum yang telah dibentuk dengan efektivitas pelaksanaan di lapangan.
Dalam kekosongan peran negara, Pandawara Group hadir sebagai inisiatif masyarakat sipil yang melakukan aksi pembersihan sungai dan lingkungan. Kehadiran mereka bukan hanya simbol perlawanan ekologis, tetapi juga wujud nyata asas partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Fenomena ini menegaskan bahwa masyarakat telah bergerak dari sekadar objek kebijakan menjadi subjek yang mengambil alih tanggung jawab negara. Namun, posisi Pandawara menyimpan paradoks. Di satu sisi, mereka adalah partisipasi masyarakat yang sah dan patut diapresiasi; di sisi lain, keberadaan mereka merupakan kritik atas lemahnya politik hukum lingkungan. Partisipasi publik idealnya melengkapi dan mengawasi kinerja negara, bukan menggantikan fungsi utamanya.
Menurut hemat penulis, solusi tidak dapat lagi berhenti pada perumusan regulasi, melainkan harus diarahkan pada reorientasi politik hukum lingkungan. Pertama, negara harus berani menegakkan hukum lingkungan secara konsisten, menindak tegas pelaku pencemaran baik individu maupun korporasi dengan sanksi administratif, perdata, hingga pidana. Regulasi tanpa keberanian politik hanya akan menjadi macan kertas. Kedua, diperlukan sinergi substantif antara negara dan masyarakat sipil. Pandawara semestinya diposisikan bukan sekadar gerakan simbolik, melainkan mitra strategis dalam mengawasi dan memperkuat legitimasi kebijakan publik. Ketiga, pendidikan dan literasi lingkungan harus ditanamkan secara sistematis sejak dini, sehingga kesadaran ekologis tumbuh bukan karena keterpaksaan akibat krisis, melainkan sebagai budaya hukum yang berkelanjutan. Oleh karena itu, hukum lingkungan ke depan harus progresif, partisipatif, dan berbasis paradigma ekosentris yang menempatkan lingkungan sebagai subjek utama, bukan sekadar objek eksploitasi. Tanpa pergeseran paradigma ini, partisipasi masyarakat sipil hanya akan menjadi kosmetik sosial yang menutupi luka ekologis bangsa.
Penulis: Faidatul Hikmah (Mahasiswa Magister Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung Angkatan 2025)