Dalam Konstitusi Indonesia, kebebasan berpendapat diberikan ruang dan landasan yang kuat, yaitu ada dalam Pasal 28 UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeleuarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam Pasal 28 F yang secara rinci menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Secara prinsip, dapat kita pahami bahwa setiap orang diberikan kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sesuai dengan dasar keilmuan yang menjadi tolok ukur dalam pendapat tersebut. Dengan kata lain, kebebasan berpendapat merupakan hal yang secara pasti dilindungi oleh Konstitusi Indonesia.
Dalam kehidupan kampus, kajian keilmuan yang secara ilmiah dilakukan sebagai bentuk pengembangan dan inovasi pembelajaran yang bisa dilakukan oleh sivitas akademika selama ini. Turunan dari kebebasan berpendapat di dalam dunia akademik, adanya beberapa kebebasan berpendapat, diantaranya yaitu: kebebasan akademik, kebebasan mimbar dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi. Ketiga kebebasan tersebut dijamin dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa: Ayat (1) Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; Ayat (2) Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; Ayat (3) Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.
Di Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2012 tersebut, secara tersurat mengilustrasikan bahwa kebebasan akademik merupakan wewenang dari pihak yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah yang sesuai dengan bidang keilmuannya untuk bisa menyatakan secara terbuka dan bertanggungjawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya. Hal ini menjelaskan, melaksanakan mimbar akademik merupakan tindakan yang dilindungi dan sah secara hukum konstitusi maupun aturan turunannya.
Dalam mimbar akademik ini, mahasiswa diajak untuk berpikir secara komprehensif dengan segala konsep ilmu yang dibawakan oleh narasumber yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya. Dengan adanya kebebasan akademik serta adanya otonomi keilmuan yang bisa dijadikan dasar untuk membuka “ruang kejenuhan” untuk berpikir kritis sebagai batu uji pikiran dan pendapat sepanjang tidak terlalu jauh dalam pembahasan keilmuan tersebut. Era keterbukaan informasi sekarang, agak sulit untuk membatasi pikiran mahasiswa yang secara teknologi informasi bisa mengakses dan menjangkau pengetahuan lebih luas secara update, serta mengakses berbagai kejadian dan informasi, sehingga nuansa keilmuan dalam mimbar akademik semakin lebih hidup dan mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya mahasiswa yang haus akan informasi terbaru dan mendalam.
Keterbukaan wawasan keilmuan dengan berbagai kalangan akademisi maupun pemerhati dalam bidang kekhususan ilmu, menjadi daya tarik tersendiri oleh mahasiswa sekarang. Penerapan keilmuan praktis dan keterbukaan diskursus membuka ruang untuk saling toleransi dan tepo seliro dalam perbedaan pendapat dan pandangan dalam membicarakan suatu fenomena yang terjadi kekinian. Dalam proses kebebasan akademik inilah, transformasi keilmuan menjadi penting agar masyarakat, khususnya mahasiswa mampu dan bisa menjadikan kelimuan tersebut menjadi sebuah tolok ukur dalam menimba ilmu dalam dunia perkuliahan.
Menurut penulis, kebebasan mimbar akademik itu perlu dan penting dilakukan, sehingga mahasiswa lebih tercerahkan dan tidak terjerumus dalam kesalahan pemahaman (sesat pikir) terkait wawasan keilmuan tersebut. Kebebasan akademik kembali tercoreng dengan adanya tindakan teror dan ancaman terhadap suatu acara diskusi ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa yang ingin mengetahui tentang seluk beluk keilmuan hukum tata negara yang berkaitan dengan situasi nasional sekarang. Acara ini diprakarsai oleh kelompok Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang berujung pada pembatalan acara tersebut akibat teror dan ancaman dari pihak yang tidak bertanggungjawab.
Pembatalan terhadap acara Webinar yang dilaksanakan oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang bertema “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”, dikarenakan mendapati insiden yang kurang baik dengan adanya ancaman dari orang yang tidak dikenal. Konsep acara tersebut merupakan inisiasi dari kegiatan mahasiswa untuk melakukan diskusi imiah terkait Hukum Tata Negara. Oleh sebab itu, mengundang para akademisi yang mumpuni dibidangnya, yaitu Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH., M.Hum, seorang Guru Besar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta selaku Pembicara.
Kasus ini merebak menjadi sebuah tindakan yang berujung pada teror, ancaman kepada pembicara, moderator serta narahubung. Teror yang dialami salah satunya melalui adanya ancaman teks pembunuhan, telepon gelap, adanya 5 orang mendatangi kediaman pembicara dengan melakukan tindakan menggedor-gedor pintu rumah malam-malam yang secara nilai kesopanan sudah melanggar. Bahkan ancaman tersebut sudah masuk ke ranah keluarga-keluarga mahasiswa pelaksana kegiatan diskusi melalui daring tersebut.
Hal ini sangat disayangkan, disaat mahasiswa yang secara atraktif ingin menggali keilmuan dari para begawan hukum, namun acara belum terlaksana sudah ada tindakan tidak bertanggungjawab oleh oknum yang secara langsung melakukan tindakan intimidasi terhadap para pihak yang ada terlibat dalam acara tersebut. Pihak kepolisian, sebagai pelindung dan pengayom masyarakat diharapkan secara aktif dan massive bisa mengusut tuntas siapa pihak-pihak yang melakukan tindakan intimidasi tersebut. Hal ini penting untuk dilakukan sebagai tindakan preventif agar kejadian tersebut tidak terulang sehingga tidak “mencederai” kebebasan akademik di kemudian hari. (***).
Opini Rakyatpos, 3 Juni 2020
Muhammad Syaiful Anwar, SH.,
LL.M
Dosen HTN FH UBB / Anggota PWPM Babel