ERA corona ibarat bayangbayang hitam kehidupan masyarakat dunia
yang disebut pandemi corona, tak terkecuali Indonesia. Di samping
daya tularnya yang mencapai tingkat super-super spread, corona
tengah memulai era baru. Pandemi corona ini adalah era resesi
global yang tak ayal telah membuat perekonomian dunia jungkir
balik. Alih-alih meroket, menanjak saja tidak!
Dan sebagai negara yang secara ekonomi menginduk pada kapitalisme,
Indonesia juga pasti terkena dampaknya. Badai PHK telah gentayangan
menghantui sektor-sektor ekonomi sejak beberapa bulan terakhir,
termasuk di Bangka Belitung. Korban terparahnya tentu saja para
pekerja informal.
Terlebih yang berpendapatan harian dan honorer. Work from home sama
sekali tak berkorelasi dengan pendapatan mereka. Justru menurut
mereka, mereka lebih baik mati di luar rumah akibat corona daripada
mati di dalam rumah akibat kelaparan. Sungguh ironis. Manusiawi,
hingga tiada terbendunglah hujan tangis. Rakyat kecil benar-benar
dilematis.
Pemerintah memproyeksikan ada potensi kenaikan angka kemiskinan dan
jumlah pengangguran baru yang signifikan
di Indonesia karena adanya pandemi Covid-19 saat ini. Jumlahnya
bisa mencapai jutaan orang. Menanggapi hal ini, Guru Besar
Statistika Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Asep Syaifuddin
mengungkapkan, dampak pandemi corona bahkan bisa jauh lebih dahsyat
daripada sekadar krisis ekonomi seperti tahun 1998, tahun 2003 yang
lalu. Jika pandemi masih belum tertangani hingga Desember 2020,
Indonesia terancam kolaps dan tidak ada negara yang bisa langsung
membantu. Kendati pinjaman dana dari lembaga internasional semacam
IMF dan Bank Dunia sudah merona di depan mata.
Memang, menurut catatan Kemenaker, hingga 13 April 2020 sudah ada
2,8 juta orang di-PHK dan dirumahkan karena dampak pandemi corona,
maka mereka otomatis menambah daftar pengangguran di Indonesia
termasuk juga di Bangka Belitung terdampak hal ini. Sementara itu,
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, berdasarkan
skenario yang diperhitungkan pemerintah, tingkat pengangguran akan
meningkat.
Paling berat terutama terjadi di Jawa, disusul Sumatera, Bali, dan
Nusa Tenggara. Secara kuantitas atau jumlah, pemerintah
memproyeksikan dua skenario, yakni skenario berat dan paling berat.
Ini adalah skenario saat pandemi Covid-19 ini terhadap penambahan
kemiskinan dan pengangguran.
Skenario berat akan ada tambahan 1,16 juta orang miskin dan
penambahan
pengangguran 2,92 juta orang. Dan skenario paling berat, maka ada
akan tambahan 3,78 juta orang miskin dan penambahan pengangguran
5,23 juta orang. Belum lagi jeritan para pengusaha yang sudah
skeptis dengan menyatakan bahwa jika kondisi pandemi belum pulih
maka perusahaan mereka hanya mampu bertahan hingga Juni 2020.
Mirisnya, di tengah kondisi yang kian di ujung tanduk ini,
pemerintah masih saja belum tepat guna dalam mengambil langkah.
Bukannya melakukan penanganan sigap bersifat jangka pendek dan
panjang, pemerintah justru menaikkan alokasi anggaran untuk Kartu
Prakerja hingga 100 persen, dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20
triliun, serta menambah jumlah penerima menjadi 5,6 juta orang.
Program Kartu Prakerja ini mungkin saja bagai kontingen penyelamat
di tengah ancaman resesi akibat wabah. Namun demikian, program ini
justru tampak sangat dipaksakan padahal krisis sudah dan sedang
terjadi.
Konsep program ini mengadopsi bahwa korban PHK dilatih secara
online baru diberi tunjangan. Sementara untuk penyelenggaranya,
akan mendapat dana dari negara. Dana itu akan dipotong dari
tunjangan para pekerja tadi. Artinya, para pekerja juga tidak akan
memperoleh tunjangan dengan nominal yang penuh.
Turut mengkritisi hal ini, Sekjen PSI Pangkalpinang sekaligus
aktivis mahasiswa, Primus Jodi Setiawan menilai bahwa Kartu
Prakerja semestinya diterapkan saat kondisi perekonomian sedang
normal. Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang
butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Yang oleh
karenanya, Kartu Prakerja ini bisa menjadi jawaban dengan
memberikan pelatihan online maupun offline.
Padahal, yang rakyat butuhkan saat ini bukan lagi pelatihan,
melainkan dana
segar untuk menyelamatkan asap dapur agar tetap mengepul, alias
butuh makan. Jadi, di era krisis seperti saat ini, masyarakat dan
para korban PHK lebih membutuhkan kebijakan berupa Bantuan Langsung
Tunai (BLT) dibanding Kartu Prakerja. Terlebih lagi, pelatihan
online menjadi syarat wajib dari program Kartu Prakerja. Bayangkan
jika mereka sebagian besar adalah para pekerja informal yang
alihalih melek teknologi. Dapat uang untuk bisa makan saja sudah
bersyukur. Mengapa harus memaksa mereka agar menjadi sok online?
Ibarat kata, program pelatihan online Kartu Prakerja malah tidak
efektif dan salah sasaran karena digital skill dari sebagian besar
pesertanya juga masih terbatas. Ini pastinya membutuhkan penanganan
yang berbeda lagi. Maka hendaknya kebijakan yang diluncurkan
pemerintah jangan sekadar menuntut pekerja agar jadi high-tech
secara instan.
Jadi jelas sekali bahwa program Kartu Prakerja yang dibanggakan
Presiden Joko Widodo itu sangat tidak tepat diterapkan saat pandemi
corona ini. Justru skeptis dan muncul rasa keraguan. Karena itulah,
dalam mengatasi wabah corona beserta segala dampak derivatnya,
hendaknya penguasa melakukan ikhtiar terbaik untuk mengurus
rakyatnya. (*)
(Opini Bangkapos, 20 April 2020)
Oleh: Primus Jodi Setiawan ( Mahasiswa FH UBB / Sekjen DPD PSI
Pangkalpinang )